Rahasia Kejayaan Peradaban Islam di Masa Lalu
Filsafat Muslim -- Selama lebih dari lima abad (abad ke-8 hingga ke-13 M), peradaban Islam mencapai puncak kejayaan dalam ilmu pengetahuan, seni, dan budaya. Dari Baghdad hingga Cordoba, kemajuan ini tidak hanya menjadi kebanggaan dunia Islam, tetapi juga fondasi bagi perkembangan global modern. Apa rahasia di balik kecemerlangan tersebut? Simak faktor-faktor kunci yang menjadikan era ini sebagai Golden Age of Islam.
Keterbukaan terhadap Ilmu Pengetahuan
Peradaban Islam mengadopsi dan mengembangkan pengetahuan dari peradaban Yunani, Persia, India, dan Cina. Khalifah Al-Ma’mun (813–833 M) mendirikan Baitul Hikmah di Baghdad, pusat penerjemahan karya-karya filsafat, kedokteran, astronomi, dan matematika. Buku-buku Aristoteles, Galen, dan Brahmagupta dialihbahasakan ke bahasa Arab, lalu diperkaya dengan temuan baru.
“Tanpa upaya penerjemahan ini, Eropa mungkin tak pernah mengenal Renaisans,” tulis Jonathan Lyons dalam The House of Wisdom. Sebagai contoh nyata, antara lain :
1. Hunayn ibn Ishaq (809–873 M), seorang dokter Kristen Nestorian, menerjemahkan 129 karya Galen ke bahasa Arab atas permintaan kekhalifahan.
2. Kitab Almagest karya Ptolemeus dipelajari dan dikoreksi oleh astronom Muslim seperti Al-Battani.
Dukungan Penguasa yang Visioner
Kemajuan sains dan budaya didorong oleh para penguasa yang menjadikan ilmu pengetahuan sebagai prioritas. Khalifah dan sultan memberikan dana besar untuk pembangunan observatorium, perpustakaan, dan rumah sakit. Dengan fakta historis, sebagai berikut :
1. Khalifah Al-Hakam II di Cordoba (Spanyol Islam) mengoleksi lebih dari 400.000 buku di perpustakaannya.
2. Sultan Mehmed II, penakluk Konstantinopel (1453), mengumpulkan 1.200 manuskrip Yunani dan Arab sebagai dasar pengembangan ilmu di Kesultanan Ottoman.
Pendidikan yang Terstruktur
Lembaga pendidikan seperti Al-Qarawiyyin di Maroko (didirikan 859 M) dan Al-Azhar di Kairo (975 M) menjadi universitas tertua di dunia. Sistem madrasah (sekolah) menyebar dari Asia Tengah hingga Afrika, dengan kurikulum integratif: agama, sains, dan humaniora. “Di Al-Qarawiyyin, siswa belajar matematika, astronomi, dan fikih sekaligus. Inilah model pendidikan holistik,” ujar Dr. Ahmed Djebbar, sejarawan sains Islam.
Kolaborasi Lintas Budaya
Kejayaan Islam lahir dari semangat inklusivitas. Ilmuwan Muslim, Kristen, Yahudi, dan Hindu bekerja sama tanpa diskriminasi. Contoh kolaborasi, sebagai berikut :
1. Maimonides (1138–1204), filsuf Yahudi, menulis karya medis berbahasa Arab yang menjadi rujukan di Eropa.
2. Observatorium Maragha (Iran, abad ke-13) dipimpin Nasir al-Din al-Tusi, dengan tim dari Cina, Persia, dan Suriah.
Metode Ilmiah yang Rigor
Ilmuwan Muslim tidak sekadar menyalin, tetapi menguji, mengkritik, dan berinovasi. Al-Biruni (973–1048) menekankan observasi lapangan dalam geologi, sementara Ibn al-Haytham (965–1040) merintis metode eksperimen modern dalam Kitab al-Manazhir (Optik). “Ilmu pengetahuan harus dibangun dengan keraguan, eksperimen, dan bukti,” tulis Ibn al-Haytham dalam The Doubting of Ptolemy.
Infrastruktur yang Mendukung
Kemakmuran ekonomi dari jalur perdagangan Islam memungkinkan pembangunan fasilitas canggih, antara lain :
1. Rumah Sakit Al-Adudi di Baghdad (abad ke-10) memiliki ruang spesialis dan apotek terpisah.
2. Sistem Irigasi Andalusia menggunakan teknologi noria (roda air) untuk pertanian.
Mengapa Era Ini Berakhir?
Kejayaan Islam mulai meredup akibat invasi Mongol (hancurnya
Baghdad, 1258), konflik internal, dan tertutupnya pintu ijtihad (penalaran
mandiri). Namun, warisannya tetap hidup melalui karya-karya yang diteruskan ke
Eropa. Pelajaran untuk hari Ini bahwa rahasia kejayaan Islam terletak pada
keterbukaan, kolaborasi, dan dukungan sistemik terhadap ilmu pengetahuan. Di
tengah tantangan global, prinsip ini relevan untuk dihidupkan kembali. “Masa
lalu mengajarkan kita bahwa peradaban besar tumbuh ketika manusia bersatu untuk
mencari kebenaran,” kata Prof. George Saliba, pakar sejarah sains Islam dari Columbia University.
(Ugy/FM)