Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Orde Baru di Indonesia: Warisan Ekonomi dan Luka Hak Asasi yang Belum Sembuh

 

Foto : Ilustrasi Bayang-Bayang Orde Baru di Indonesia (Ugy/filsafatmuslim.com)

Filsafat Muslim – Tepat 27 tahun sejak kejatuhan rezim Orde Baru pada 1998, Indonesia masih terus bergulat dengan warisan era kepemimpinan Presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun. Periode ini diingat sebagai masa kontradiksi: pertumbuhan ekonomi yang pesat, tetapi juga represi politik dan pelanggaran HAM sistematis. Sejarawan dan aktivis kini mendorong refleksi kritis atas sejarah ini, terutama di kalangan generasi muda.

Kemajuan Ekonomi dan Infrastruktur

Di bawah Orde Baru, Indonesia mengalami transformasi ekonomi yang signifikan. Melalui kebijakan teknokratis yang didukung IMF dan Bank Dunia, pertumbuhan GDP rata-rata mencapai 7% per tahun pada 1970–1980-an. Inflasi berhasil ditekan dari 650% di era Orde Lama menjadi di bawah 10% pada 1970-an. Program seperti Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) membawa pembangunan infrastruktur masif, termasuk Jalan Tol Jagorawi, waduk, dan 16.000 sekolah dasar.

Namun, pertumbuhan ini diiringi praktik korupsi yang menggurita. Laporan World Bank (1999) menyebut keluarga Soeharto menguasai 20-30% perekonomian melalui monopoli seperti cengkeh (PT BPPC) dan mobil (Timor). Transparansi International menempatkan Soeharto sebagai pemimpin terkorup sepanjang sejarah dengan kekayaan keluarga mencapai US$15–35 miliar.

Represi Politik dan Stabilitas yang Rapuh

Di balik jargon "stabilitas nasional", Orde Baru membungkam demokrasi. Golkar memenangkan setiap pemilu dengan rekayasa sistemik, sementara oposisi seperti PDI dan PPP dikekang. UU Anti-Subversi (1963) menjadi senjata untuk membubarkan kritik. Media dikendalikan melalui pencabutan SIUPP, seperti kasus pembreidelan Tempo, Editor, dan DeTik pada 1994.

"Orde Baru menciptakan budaya takut. Masyarakat diajarkan untuk tidak mempertanyakan penguasa," ujar Dr. Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI yang fokus pada rekonsiliasi konflik masa lalu.

Tragedi Kemanusiaan yang Belum Terungkap

Dosa terkelam Orde Baru adalah pelanggaran HAM yang belum tuntas:

  1. Pembantaian 1965–1966: Antara 500.000–1 juta orang dituduh komunis dibunuh, puluhan ribu ditahan tanpa pengadilan. Arsip AS yang dibuka pada 2017 mengonfirmasi keterlibatan militer.
  2. Penembakan Misterius (Petrus) 1983: 2.000–10.000 preman tewas dalam operasi "penertiban".
  3. Pelanggaran di Timor Leste (1975–1999): Komisi PBB menyebut 100.000 warga tewas selama pendudukan.
  4. Kerusuhan Mei 1998: 1.200 korban jiwa, termasuk tragedi Trisakti dan pemerkosaan etnis Tionghoa.

Korban seperti Suryani (62), yang ayahnya hilang dalam pembantaian 1965, berujar: "Sampai sekarang negara tidak pernah mengakui kesalahan. Kami hanya ingin pengakuan."

Warisan yang Membelah Opini Publik

Survei LSI (2022) menunjukkan polarisasi: 45% responden menganggap Orde Baru "lebih baik", sementara 55% muda memilih demokrasi meski tidak puas. Di media sosial, tagar #RezimOrdeBaru ramai diperdebatkan, antara nostalgia stabilitas dan penolakan terhadap otoritarianisme.

Ekonom Faisal Basri mengingatkan: "Pertumbuhan Orde Baru rapuh karena mengandalkan utang dan eksploitasi sumber daya. Krisis 1998 membuktikan itu."

Upaya Rekonsiliasi yang Terhambat

Pemerintah telah membentuk Komnas HAM untuk menyelidiki pelanggaran masa lalu, tetapi rekomendasi seperti pengadilan HAM ad hoc untuk 1965 belum diimplementasikan. RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) mandek sejak 2006.

Di sisi lain, upaya apologi terhadap Orde Baru masih muncul. Pada 2023, wacana revisi TAP MPRS No. XXV/1966 tentang larangan komunisme memicu protes. "Ini upaya mengaburkan sejarah," tegas Usman Hamid, Direktur Amnesty Indonesia.

Generasi Muda dan Pelajaran Sejarah

Bagi anak muda seperti Aisyah (22), aktivis HAM, mempelajari Orde Baru adalah cara menghindari pengulangan tragedi. "Kami tidak hidup di era itu, tetapi kami melihat bekas luka yang masih nyata. Jangan sampai stabilitas dikorbankan atas nama demokrasi," katanya.

Sebagai penutup, budayawan Goenawan Mohamad berpesan: "Masa lalu adalah cermin. Orde Baru mengajarkan bahwa pembangunan tanpa keadilan hanya akan melahirkan runtuhnya peradaban." (Ugy/FM)