Nahdlatul Ulama: Jejak Perjuangan dan Kontribusi Organisasi Islam Terbesar di Indonesia
Filsafat Muslim - Sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia dan dunia, Nahdlatul Ulama (NU) telah menjadi pilar penting dalam sejarah bangsa sejak era kolonial hingga reformasi. Didirikan pada 31 Januari 1926 di Surabaya, NU lahir dari keresahan para kiai pesantren yang ingin mempertahankan tradisi Islam Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) sekaligus merespons tantangan kolonialisme, modernisasi, dan gerakan puritanisme agama.
Akar Sejarah: Dari Kolonialisme ke Kemerdekaan
NU didirikan oleh ulama-ulama terkemuka seperti KH Hasyim Asy'ari (pendiri Pesantren Tebuireng) dan KH Wahab Hasbullah, dengan dukungan jaringan pesantren di Jawa, Madura, dan Sumatra. Pada masa kolonial Belanda, NU fokus pada pendidikan, dakwah, dan perlindungan budaya lokal yang dianggap terancam oleh kebijakan pemerintah kolonial maupun gerakan pembaruan Islam.
Peran NU dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia tak bisa diabaikan. Pada 22 Oktober 1945, NU mengeluarkan Resolusi Jihad yang menyerukan perlawanan terhadap Belanda, memicu semangat pertempuran heroik di Surabaya. Fatwa ini menjadi bukti komitmen NU untuk memadukan nasionalisme dan nilai-nilai keislaman.
NU di Era Politik: Dari Masyumi ke Orde Baru
Setelah kemerdekaan, NU terlibat dalam politik praktis dengan bergabung dalam Partai Masyumi. Namun, pada 1952, NU memisahkan diri dan membentuk partai sendiri karena perbedaan visi. Di era Demokrasi Terpimpin (1959-1965), NU sempat menjadi pendukung Soekarno, tetapi hubungan retak setelah peristiwa G30S 1965.
Di bawah Orde Baru, NU mengambil peran ganda: sebagai bagian dari PPP (Partai Persatuan Pembangunan) sekaligus menjaga independensi lewat jalur sosial-keagamaan. Pada 1984, di bawah kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), NU menyatakan "kembali ke khittah 1926" dengan fokus pada pendidikan, dakwah, dan penguatan masyarakat sipil.
NU di Era Reformasi: Penjaga Moderasi dan Demokrasi
Pasca Reformasi 1998, NU menjadi garda. depan dalam mempromosikan Islam moderat dan toleran. Di bawah kepemimpinan tokoh seperti KH Hasyim Muzadi dan KH Said Aqil Siraj, NU aktif menolak ekstremisme, mendorong dialog antaragama, serta membela hak minoritas.
Pada 2019, NU bersama Muhammadiyah menginisiasi Banser (Barisan Ansor Serbaguna) untuk mengamankan pemilu, menegaskan komitmennya terhadap demokrasi. Organisasi ini juga menjadi ujung tombak dalam melawan radikalisme, seperti penolakan terhadap ISIS dan gerakan transnasional yang bertentangan dengan Pancasila.
Kontribusi Pendidikan dan Kemanusiaan
Hingga kini, NU mengelola ribuan pesantren, sekolah, dan universitas di seluruh Indonesia. Lembaga seperti Universitas Islam Negeri (UIN) dan Lembaga Pendidikan Ma'arif menjadi bukti dedikasinya pada pendidikan inklusif. Di bidang kemanusiaan, Lazisnu (Lembaga Zakat NU) dan Baznas aktif membantu korban bencana, termasuk gempa Lombok (2018) dan banjir Kalimantan (2021).
NU di Panggung Global
Di bawah Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf, NU semakin mendunia. Pada 2022, NU meluncurkan inisiatif "Humanitarian Islam" untuk mempromosikan perdamaian global melalui reinterpretasi doktrin keagamaan yang inklusif. Langkah ini diapresiasi oleh PBB dan pemimpin dunia, termasuk Paus Fransiskus.
Warisan dan Tantangan ke Depan
Dengan anggota lebih dari 90 juta orang, NU tetap menjadi kekuatan sosial-politik yang tak tergantikan. Namun, tantangan seperti polarisasi politik, disinformasi, dan ancaman radikalisme masih harus dihadapi. Sejarawan menilai NU perlu terus memperkuat perannya sebagai "penyeimbang dalam menjaga keutuhan NKRI.
KH Yahya Cholil Staquf dalam wawancara eksklusif menyatakan, "NU harus menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas, antara Islam dan kebhinekaan. Itulah warisan para pendiri kita."(Ugy/FM)