Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Dari Tegal Alang-alang ke Kanoman. Menelusuri Jejak Kekuasaan, Agama, dan Politik di Tanah Cirebon

Foto : Keraton Kanoman, Cirebon 1924 (Abel/filsafat muslim.com)

Filsafat Muslim - Pada awal abad ke-15, wilayah yang kini dikenal sebagai Keraton Kanoman di Cirebon dulunya hanyalah sebuah pemukiman kecil bernama Tegal Alang-alang. Suasana kehidupan saat itu masih sederhana, jauh dari kemegahan dan hiruk-pikuk yang kelak mewarnai daerah ini. Tegal Alang-alang berubah ketika seorang bangsawan bernama Pangeran Walangsungsang, atau yang dikenal juga sebagai Pangeran Cakrabuana, mulai mengembangkan dan menguasai wilayah tersebut. Ia bukan tokoh biasa, ia adalah putra dari Prabu Siliwangi, raja besar dari Pajajaran. Keberhasilannya dalam mengelola daerah ini bahkan membuat ayahnya memberikan restu agar ia menjadi pemimpin resmi wilayah tersebut, menandai awal mula lahirnya kekuasaan lokal di Cirebon yang kemudian berkembang menjadi sebuah kesultanan yang berpengaruh di pesisir utara Jawa.

Transformasi wilayah ini kian berkembang pada tahun 1479, ketika Pangeran Cakrabuana menobatkan keponakannya, Syarif Hidayatullah, sebagai tumenggung, sebuah gelar yang menandakan otoritas sebagai kepala daerah. Syarif Hidayatullah adalah putra dari adik perempuan Cakrabuana, Nyai Rarasantang, dan memiliki garis keturunan dari Timur Tengah. Penobatan ini bukan hanya soal suksesi keluarga, tetapi juga merupakan langkah politik dan religius yang mendapat sambutan luas, bahkan hingga ke Kesultanan Demak. Para wali di Demak, yang memiliki pengaruh besar dalam penyebaran Islam, memberikan gelar kepada Syarif Hidayatullah sebagai Panetep Panatagama di tanah Sunda, dan sejak saat itu ia dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Dengan gelar tersebut, ia tidak hanya menjadi pemimpin wilayah tetapi juga pemimpin spiritual yang memiliki mandat moral dan keagamaan.

Foto : Narasumber Venggar Tri Laksono (Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata) (Abel/filsafatmuslim.com)

Kepemimpinan Sunan Gunung Jati menandai era keemasan bagi Cirebon. Ia menjalankan berbagai program pemerintahan yang berpijak pada nilai-nilai Islam, serta membangun fondasi yang kuat bagi perkembangan kota dan masyarakatnya. Salah satu gagasan besarnya adalah membangun sebuah masjid megah yang dapat menjadi pusat ibadah sekaligus simbol kemegahan Islam di wilayah pesisir utara Jawa. Ia lalu mengirim utusan untuk menyampaikan gagasan tersebut kepada Sultan Demak dan para wali. Respons dari Demak sangat positif. Tidak hanya disambut, gagasan itu juga didukung penuh. Raden Fatah, Sultan Demak, mengutus arsitek terbaik dari Majapahit bernama Raden Sepat, dibantu oleh dua wali besar, Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Hasil dari kolaborasi agung ini adalah berdirinya Masjid Agung Sang Cipta Rasa, yang hingga kini tetap menjadi saksi bisu kejayaan Cirebon dan perpaduan budaya Jawa, Islam, dan Majapahit.

Setelah wafatnya Sunan Gunung Jati pada tahun 1568, tampuk kepemimpinan dilanjutkan oleh putranya yang dikenal sebagai Panembahan Ratu. Dalam sejarah, ia dikenal sebagai pemimpin yang mencintai perdamaian dan menjalin hubungan diplomatik dengan berbagai kerajaan Islam lainnya. Salah satu relasi penting yang ia bangun adalah dengan Kerajaan Mataram yang saat itu berada di bawah kekuasaan Sultan Agung. Namun sejarah mencatat bahwa setelah wafatnya Panembahan Ratu, tongkat kekuasaan berpindah kepada Panembahan Ratu II, atau Pangeran Karim, yang memperkuat hubungan politik dengan Kerajaan Mataram melalui pernikahannya dengan adik dari Sunan Amangkurat I. Hubungan politik ini semula memperkuat stabilitas, tetapi kemudian berubah menjadi ketegangan ketika Sunan Amangkurat I, yang bersahabat dengan Belanda, merasa terancam oleh kekuatan Banten. Dengan informasi menyesatkan, ia menuduh Banten akan menyerang Mataram dan mendorong Panembahan Ratu II untuk menyerang terlebih dahulu. Namun, Panembahan Ratu II menolak perintah itu, yang membuatnya bersama dua putranya, Pangeran Martawidjaja dan Pangeran Kartawidjaja, diasingkan ke Kartasura.

Selama dua belas tahun masa pengasingan, Kesultanan Cirebon mengalami kekosongan kekuasaan yang cukup lama. Ketika Panembahan Ratu II wafat di pengasingan pada tahun 1666 dan dimakamkan di Bukit Girilaya, satu-satunya penerus yang tersisa di Cirebon adalah Pangeran Wangsakerta. Namun, karena dua saudaranya yang diasingkan tetap memiliki hak atas tahta, timbul konflik perebutan kekuasaan di antara ketiganya. Situasi yang tidak menentu ini akhirnya menarik perhatian Sultan Banten, Sultan Ageng Tirtayasa, yang kemudian pergi ke Mataram dan berhasil membawa pulang kedua pangeran yang diasingkan. Demi menjaga keseimbangan politik dan meredam potensi perang saudara, Sultan Ageng Tirtayasa kemudian memutuskan untuk membagi Kesultanan Cirebon menjadi tiga kekuasaan: Pangeran Kartawidjaja diberi wilayah Kanoman, Pangeran Martawidjaja memimpin Kasepuhan, dan Pangeran Wangsakerta diberi kuasa atas Panembahan Cirebon.

Namun babak baru sejarah Kanoman dimulai kembali pada masa kolonial, ketika pada tahun 1924 pemerintah Hindia Belanda membangun Pasar Kanoman tepat di sebelah utara keraton. Pembangunan pasar ini dilakukan di atas lahan yang sebelumnya dimiliki oleh Keraton Kanoman. Meski alasan resmi pembangunan adalah untuk tujuan komersial dan pertumbuhan ekonomi lokal, banyak pihak meyakini bahwa pembangunan pasar ini juga dimaksudkan untuk membatasi pengaruh simbolik dan politis keraton di mata rakyat. Letak pasar yang menutupi pandangan langsung ke arah keraton dari jalan utama membuat bangunan keramat ini terkesan tersembunyi dan perlahan kehilangan daya magisnya sebagai pusat kekuasaan. Aktivitas perdagangan di sekitar pasar berkembang pesat dan menarik pedagang dari berbagai daerah, termasuk komunitas Tionghoa, yang membuat kawasan ini berubah dari fungsi administratif dan spiritual menjadi area yang lebih bersifat komersial.

Perubahan fungsi ruang di sekitar Keraton Kanoman ini mencerminkan bagaimana dinamika kekuasaan, ekonomi, dan kolonialisme saling berkelindan dalam sejarah Cirebon. Keraton yang dulunya menjadi pusat legitimasi kekuasaan dan spiritual, perlahan mulai tergeser oleh aktivitas ekonomi dan kepentingan politik kolonial. Namun, jejak sejarahnya tetap abadi dalam bangunan, tradisi, dan narasi masyarakat yang terus melestarikan warisan budaya Kanoman sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah panjang Nusantara. (Abel/FM)