Seandainya Indonesia Seperti Amerika: Menggali Kisah Republik Indonesia Serikat (RIS) yang Terlupakan
![]() |
| Foto : Saat Indonesia Hampir Menjadi Seperti Amerika (Ugy/filsafatmuslim.com) |
Filsafat Muslim - "Saudara dan saudari sekalian, saya minta maaf bahwa kenalan saya sekarang, pada waktu malam ini terlambat..."
Kalimat itu diucapkan oleh Sultan Hamid II dalam sebuah acara peringatan HUT RI ke-4 di Amsterdam. Sosok yang dikenal sebagai "The Federalist" ini adalah salah satu tokoh kunci di balik sebuah gagasan besar yang nyaris mengubah takdir bangsa: menjadikan Indonesia sebuah negara federal, layaknya Amerika Serikat.
Pernahkah terbayang jika Indonesia tidak berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), melainkan sebuah federasi di mana setiap provinsi memiliki kekuasaan besar layaknya negara bagian? Ini bukan sekadar fantasi. Antara tahun 1949 hingga 1950, kita pernah hidup dalam negara bernama Republik Indonesia Serikat (RIS) atau Republic of the United States of Indonesia.
Namun, negara federal ini hanya bertahan sekitar tujuh bulan. Mengapa RIS dibentuk dan mengapa ia bubar begitu cepat? Dan yang lebih menarik, apa jadinya jika Indonesia tetap bertahan sebagai negara federal hingga hari ini?
Di Balik Gagasan Federal: Dua Kubu, Dua Kepentingan
Gagasan tentang negara federasi bukanlah ide tunggal, melainkan persimpangan antara kepentingan tokoh Indonesia dan strategi Belanda.
Di sisi Indonesia, tokoh seperti Sultan Hamid II dan Bung Hatta disebut-sebut sebagai figur yang menyetujui model federasi. Mereka memandangnya sebagai bentuk negara yang ideal untuk Nusantara yang begitu beragam.
Di sisi lain, Belanda, melalui Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Hubertus Johannes Van Mook, secara aktif mendorong federalisme. Namun, tujuannya berbeda. Van Mook melihat federasi sebagai cara untuk memecah-belah kekuatan Republik Indonesia dan mempertahankan pengaruh Belanda di tanah air. Inilah yang melahirkan "negara-negara boneka" bentukan Belanda seperti Negara Indonesia Timur (NIT), Pasundan, Madura, dan lainnya.
Untuk mewadahi negara-negara bagian ini, dibentuklah Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) atau Majelis Permusyawaratan Federal. BFO, yang sempat dipimpin oleh Sultan Hamid II, menjadi representasi negara-negara federal dan menjadi salah satu dari tiga pihak utama dalam Konferensi Meja Bundar (KMB), bersama Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda.
RIS: Negara Federal yang Berumur 7 Bulan
Hasil dari Konferensi Meja Bundar melahirkan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949. RIS memiliki konstitusinya sendiri dan terdiri dari 15 negara bagian bentukan Belanda ditambah dengan wilayah Republik Indonesia.
Namun, eksistensi RIS tidak berlangsung lama. Bagi para pendiri bangsa, bentuk serikat ini hanyalah sebuah langkah taktis untuk satu tujuan utama: mendapatkan pengakuan kedaulatan terlebih dahulu. Begitu kedaulatan diakui dunia, konsolidasi untuk kembali ke bentuk negara kesatuan segera dilakukan. Tepat pada 17 Agustus 1950, RIS resmi bubar dan Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang kita kenal hingga kini.
Skenario "What If": Indonesia Tetap Federal?
Ini adalah pertanyaan spekulatif yang menarik. Mari kita lihat dua kemungkinan skenario jika RIS tidak pernah bubar.
Skenario 1: Realitas Politik dan Ancaman Disintegrasi
Ini adalah skenario yang paling mungkin terjadi jika melihat konteks sejarahnya. RIS lahir dari politik pecah belah (devide et impera) Belanda. Negara-negara bagian yang menjadi anggotanya adalah bentukan artifisial tanpa ikatan kebangsaan yang kuat.
Jika RIS dipertahankan, besar kemungkinan Indonesia akan mengalami perpecahan. Negara-negara bagian bisa saja memilih untuk merdeka sendiri-sendiri, didorong oleh kepentingan elite lokal atau bahkan campur tangan asing. Mungkin saja kita akan melihat kemunculan "Republik Madura" atau "Negara Pasundan" sebagai negara merdeka. Kembalinya Indonesia ke bentuk NKRI adalah langkah strategis untuk mengikat persatuan dan mencegah disintegrasi bangsa.
Skenario 2: Angan-angan Model Amerika
Sekarang, mari kita abaikan faktor politik pecah belah dan berandai-andai RIS bisa berjalan ideal. Apa yang akan terjadi?
• Otonomi Daerah Sangat Kuat: Pemerintah negara bagian (provinsi) akan memiliki kekuasaan yang sangat besar, termasuk membuat hukumnya sendiri yang disesuaikan dengan kebutuhan lokal, mirip seperti di Amerika Serikat.
• Peran DPD Setara Senat AS: Dewan Perwakilan Daerah (DPD) akan menjadi lembaga legislatif yang sangat kuat, setara dengan Senat Amerika, di mana setiap negara bagian memiliki perwakilan yang setara untuk menyuarakan kepentingan daerah di tingkat nasional.
• Kemajuan Daerah?: Apakah daerah akan lebih maju? Mungkin saja, jika kebijakan yang dibuat tepat sasaran. Namun, ketimpangan pembangunan antar daerah yang sudah ada sejak dulu bisa jadi tetap menjadi tantangan besar.
Perlu diingat, model federasi di Amerika Serikat lahir dari keinginan negara-negara bagian yang sudah ada untuk bersatu di bawah satu payung nasional, dengan tetap menyeimbangkan kekuasaan. Sementara di Indonesia, negara bagian justru "diciptakan" oleh kekuatan eksternal (Belanda). Ini adalah perbedaan fundamental.
Penutup: Bentuk Bukan Jaminan, Kualitas yang Menentukan
Pada akhirnya, bentuk negara—apakah federal atau kesatuan—bukanlah satu-satunya penentu kemajuan bangsa. Kualitas para pemimpin, kesadaran masyarakat, serta integritas dalam menjalankan sistem pemerintahan adalah faktor yang jauh lebih krusial. Sistem federasi yang dijalankan secara korup akan tetap gagal, begitu pula sebaliknya. (Ugy/FM)
