Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Semaun: Paradoks Pendiri PKI yang 'Berseberangan' dengan Partainya Sendiri

Foto : Semaun: Pejuang Kiri yang Tak Sejalan dengan PKI (Ugy/filsafatmuslim.com)

Filsafat Muslim - Di sebuah desa bernama Gunung Gangsir di Pasuruan, nama Semaun dikenang secara positif oleh sebagian masyarakat lokal. Sebuah persepsi yang kontras dengan catatan sejarah nasional yang melabelinya sebagai pendiri sekaligus Ketua Umum pertama Partai Komunis Indonesia (PKI).

Kisah Semaun adalah salah satu simpul paling menarik dan penuh paradoks dalam sejarah pergerakan Indonesia. Ia adalah seorang anak pegawai rendahan kereta api yang meroket menjadi agitator buruh paling disegani di Hindia Belanda. Ia mendirikan partai komunis, namun di akhir hayatnya justru bergabung dengan partai oposisi PKI. Ia diasingkan dari tanah air selama puluhan tahun, menjadi akademisi di Uni Soviet, hingga akhirnya kembali dan diberi jabatan terhormat oleh Presiden Soekarno.

Lalu, siapakah sebenarnya Semaun? Mari kita telusuri jejak hidupnya yang kompleks.

Dari Juru Tulis Stasiun ke Panggung Politik Radikal

Lahir pada tahun 1899 di Jombang, Jawa Timur, Semaun datang dari latar belakang sederhana. Ayahnya, Prawiroatmodjo, adalah pegawai rendahan di jawatan kereta api. Pendidikan formal Semaun pun terbatas, hanya sampai Sekolah Dasar Bumiputera kelas dua atau "Sekolah Ongko Loro".

Namun, bakatnya yang luar biasa terlihat sejak belia. Pada usia 13 tahun, ia sudah bekerja sebagai juru tulis di stasiun kereta api Surabaya. Di sinilah gerbang pergerakan terbuka untuknya. Pada usia 15 tahun, ia sudah menjabat sebagai sekretaris Sarekat Islam (SI) cabang Surabaya dan tinggal di rumah indekos milik H.O.S. Tjokroaminoto, sebuah "kawah candradimuka" yang juga dihuni oleh Soekarno dan Kartosuwiryo.

Semaun muda dengan cepat terjun ke dunia aktivisme buruh, bergabung dengan Serikat Buruh Kereta Api (VSTP) dan organisasi sosialis cikal bakal PKI, Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV). Di bawah bimbingan sosialis Belanda, Henk Sneevliet, Semaun tumbuh menjadi orator ulung dan agitator buruh pertama di Indonesia. Puncaknya, ia berhasil membawa SI cabang Semarang ke haluan kiri yang radikal—dikenal sebagai SI Merah—dan meningkatkan anggotanya dari 1.700 menjadi 20.000 orang hanya dalam setahun.

Memimpin PKI, Dibuang ke Eropa

Pada 23 Mei 1920, ISDV bertransformasi menjadi Partai Komunis Indonesia, dan Semaun, di usianya yang baru menginjak 21 tahun, didapuk menjadi Ketua Umum pertamanya. Namun, kepemimpinannya di tanah air tidak berlangsung lama.Pada musim gugur 1921, ia berangkat ke Uni Soviet untuk menghadiri Kongres Komunis Internasional. Sekembalinya ke Hindia Belanda pada Mei 1922, ia kembali memimpin aksi mogok besar-besaran buruh kereta api pada Mei 1923. Aksi ini gagal total dan berujung pada penangkapan dan pengusiran dirinya dari Hindia Belanda oleh pemerintah kolonial. Inilah titik awal dari pengasingan panjangnya yang berlangsung selama lebih dari 30 tahun.

Puluhan Tahun di Soviet: Akademisi dan Pejabat Negara

Selama masa pengasingannya, Semaun tidak diam. Di Uni Soviet, ia bertransformasi dari seorang aktivis menjadi seorang akademisi. Ia mengajar Bahasa Indonesia di Institut Ketimuran dan Institut Hubungan Luar Negeri Moskow dari tahun 1945 hingga 1947. Bahkan, ia menyempurnakan dan menerbitkan buku pelajaran Bahasa Indonesia pertama untuk mahasiswa Uni Soviet.

Kehidupannya di Soviet penuh dengan catatan menarik. Ia menikah dengan seorang perempuan Rusia dan bahkan pernah menjabat sebagai ketua badan pembangunan nasional di Turkmenistan. Namun, posisinya yang strategis ini juga menimbulkan kecurigaan. Ketika ia ingin kembali ke Indonesia, banyak spekulasi beredar. Pemerintah Soviet khawatir ia akan dituduh sebagai mata-mata, sementara pihak lain menduga Soviet justru takut Semaun akan membocorkan rahasia intelijen mereka.

Babak Akhir: Pulang, Mengabdi, dan Memilih Jalan Berbeda

Atas bantuan Presiden Soekarno, Semaun akhirnya berhasil pulang ke Indonesia pada tahun 1957. Jauh dari citra musuh negara, ia justru disambut dan diberi posisi terhormat. Pada 1959, Soekarno menunjuknya sebagai wakil ketua BAPEKAN (Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara), sebuah lembaga yang diketuai oleh Sultan Hamengkubuwono IX.

Pada tahun 1961, ia dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa dalam ilmu ekonomi dari Universitas Padjadjaran dan menjadi pengajar di almamater tersebut.

Di sinilah paradoks terbesar dalam hidup Semaun terjadi. Sekembalinya dari Soviet, ia tidak kembali ke PKI yang telah ia dirikan. Ia justru ditolak oleh para pemimpin PKI baru di bawah D.N. Aidit. Semaun kemudian memilih untuk bergabung dengan Partai Murba, sebuah partai yang didirikan oleh Tan Malaka dan menjadi salah satu oposisi utama PKI.

Semaun meninggal pada 7 April 1971, meninggalkan warisan yang rumit. Ia adalah tonggak berdirinya komunisme di Indonesia, namun jalan politiknya di akhir hayat menunjukkan sebuah perpisahan ideologis dengan partai yang pernah ia pimpin.

Kisah Semaun adalah pengingat bahwa sejarah tidak pernah hitam-putih. Ia adalah potret seorang pribumi radikal anti-kolonial yang perjalanannya penuh dengan tikungan tajam, sebuah lembar sejarah bangsa yang penting untuk dipelajari oleh generasi kini dan mendatang. (Ugy/FM)