BEM FH UBL Desak Solusi Berkeadilan, Cerminan Peran Muslim dalam Menegakkan Hak Atas Tanah
Filsafat Muslim - Perjuangan untuk keadilan agraria di Lampung kembali menggema. Pada Senin, 15 September 2025, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung (BEM FH UBL) membawa aspirasi masyarakat langsung ke hadapan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. Audiensi ini merupakan langkah lanjutan dari aksi massa "Aliansi Lampung Melawan" pada 1 September 2025, yang salah satu tuntutan utamanya adalah penyelesaian konflik agraria yang telah lama membelenggu masyarakat di berbagai wilayah Lampung, seperti Anak Tuha, lahan Sugar Group Company, serta kawasan Register 42, 44, dan 46 di Way Kanan.
Gerakan yang diinisiasi oleh para mahasiswa ini bukan sekadar perjuangan hukum dan politik, melainkan juga cerminan dari peran dan tanggung jawab seorang Muslim dalam menegakkan keadilan sosial. Dalam ajaran Islam, tanah bukan hanya aset ekonomi, tetapi juga amanah dari Allah SWT yang harus dikelola untuk kemaslahatan bersama (maslahah 'ammah). Perampasan hak atas tanah dan sumber kehidupan rakyat kecil adalah bentuk kezaliman yang harus dilawan.
“Kementerian Kehutanan adalah kementerian negara yang memiliki peran strategis dalam penyelesaian konflik agraria di areal kawasan hutan. Atas perannya tersebut, BEM FH UBL menilai sudah seharusnya kementerian memberikan kebijakan yang berdasarkan pada rasa keadilan masyarakat dan keadilan ekologis,” terang Alfin, Presiden Mahasiswa Fakultas Hukum UBL.
Pernyataan ini sejalan dengan prinsip Islam sebagai khalifah fil ardh (pemimpin di muka bumi), di mana manusia diwajibkan menjaga keseimbangan alam (keadilan ekologis) dan memastikan sumber daya dimanfaatkan secara adil bagi seluruh umat manusia, terutama bagi mereka yang lemah dan tertindas (mustad'afin).
Akar Masalah dan Dampak Sosial yang Mengakar
Audiensi ini dilatarbelakangi oleh fakta pahit di lapangan, di mana masyarakat sering kali dihadapkan dengan kekuatan korporasi, mafia tanah, dan terkadang aparatur negara itu sendiri. Akibatnya, mereka tidak hanya kehilangan hak atas tanah dan ruang hidup yang menjadi tumpuan generasi, tetapi juga terjerumus ke dalam jurang kemiskinan. Kondisi struktural ini pada akhirnya memicu masalah sosial lainnya, seperti peningkatan angka kriminalitas, karena masyarakat yang kehilangan mata pencaharian terpaksa mencari cara untuk bertahan hidup.
Perjuangan ini adalah wujud nyata dari semangat amar ma'ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran). Membiarkan rakyat kehilangan tanahnya adalah sebuah kemungkaran sistemik, dan menyuarakan hak mereka di hadapan penguasa adalah sebuah kebaikan yang diperintahkan.
Negara, dalam hal ini, memiliki kewajiban konstitusional untuk memastikan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945—bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”—benar-benar terwujud. Amanat ini selaras dengan prinsip ekonomi Islam yang menolak konsentrasi kekayaan pada segelintir orang. Meskipun Indonesia memiliki Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960, implementasinya masih jauh dari harapan, terbukti dengan maraknya konflik agraria yang tak kunjung usai.
Harapan pada Penegakan Hukum yang Adil
Secara spesifik, konflik di kawasan Register 42, 44, dan 46 Way Kanan melibatkan pengelolaan kawasan hutan oleh PT. Inhutani V. Di sisi lain, terdapat masyarakat yang telah mengelola tanah tersebut secara turun-temurun. Dugaan pelanggaran hukum dalam proses perpanjangan izin dan minimnya partisipasi masyarakat semakin memperkeruh suasana, menempatkan warga dalam posisi berhadapan dengan aparat penegak hukum dan satuan pengamanan perusahaan.
“Kami berharap dengan adanya Perpres No. 5 tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, dapat memberikan keadilan kepada masyarakat melalui penegakan hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran terkait izin. Bukan hanya sekadar denda administratif, tetapi kami berharap izin kawasan hutan tersebut dapat dialihkan kepada masyarakat. Langkah ini kami nilai justru dapat meningkatkan kesejahteraan dan juga pendapatan negara,” ujar Alfin Sanjaya.
Harapan ini mencerminkan esensi keadilan dalam Islam, di mana hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu untuk melindungi hak-hak kaum lemah. Memberikan akses pengelolaan hutan kepada masyarakat lokal adalah langkah konkret untuk mewujudkan kemakmuran yang berkeadilan, sejalan dengan tujuan syariat (maqashid syariah) untuk menjaga harta dan kesejahteraan umat.
Pada akhirnya, partisipasi masyarakat menjadi kunci. Tanpa melibatkan mereka yang hidup dan bergantung pada tanah tersebut, setiap solusi yang ditawarkan hanya akan menjadi bom waktu yang melahirkan konflik baru. Perjuangan BEM FH UBL ini menjadi pengingat bahwa membela hak atas tanah adalah bagian tak terpisahkan dari panggilan iman untuk menegakkan keadilan di muka bumi. (Ugy/FM)