Krisis Legitimasi Negara: Ketika Negara Menjadi “Al-Madinah Al-Fadhilah” Dan Kebebasan Sipil Terkekang
Filsafat Muslim - Demonstrasi kali ini adalah puncak gunung es dari krisis legitimasi negara. Abdul Karim Soroush mengingatkan bahwa demokrasi tidak bisa dikorbankan untuk stabilitas semu, aksi demonstrasi Indonesia 25 Agustus s.d 1 September 2025 sebagai bukti kegagalan negara dalam mewujudkan cita-cita demokrasi dan keadilan sosial. Aksi yang dipicu kenaikan tunjangan DPR hingga Rp. 100 juta/bulan di tengah krisis ekonomi, PHK massal, dan kenaikan pajak bereskalasi menjadi kerusuhan nasional setelah kematian tragis Affan Kurniawan, pengemudi ojek daring yang terlindas kendaraan Brimob. Tragedi ini bukan sekadar konflik politik, tetapi ujian bagi fondasi demokrasi Indonesia yang dinilai semakin menjauh dari prinsip negara ideal ala Al-Farabi dan kebebasan sipil yang diadvokasi Abdul Karim Soroush.
Al-Farabi dan Konsep Negara Utama yang Gagal
Al-Farabi,
filsuf Islam klasik, menggagas “Al-Madinah Al-Fadhilah” (Negara Utama) yang
berlandaskan harmoni antara pemimpin bijaksana dan rakyat, distribusi kekuasaan
yang adil, serta moralitas agama sebagai pondasi . Namun, Indonesia dalam
demonstrasi ini justru mencerminkan “Al-Madinah Al-Fasiqah” (negara rusak).
Sangat di sayangkan ketika efisiensi di di berlakukan di berbagai sektor namun berbanding terbalik, kesenjangan elite rakyat memperlihatkan tunjangan DPR yang mencapai Rp. 100 juta/bulan bertolak belakang dengan upah minimum provinsi yang rata rata (Rp. 3-5 juta) dan penderitaan rakyat akibat kenaikan harga gas, pajak, dan PHK massal.
Begitu pula kekerasan aparat dan Represi terhadap demonstran (500+ luka-luka, 3.400+ ditahan) mengingkari prinsip keadilan dan perlindungan HAM yang menjadi esensi negara ideal. Lalu korupsi dan arogansi kekuasaan yang di lakukan pejabat publik, pernyataan kontroversial anggota DPR (Ahmad Sahroni yang menyebut demonstran “orang terbodoh”) serta pemborosan anggaran negara memperkuat citra elite yang terputus dari realitas.
Bagi Al-Farabi sendiri, negara ideal hanya terwujud ketika pemimpin memiliki integritas layaknya nabi dan kebijakan berpihak pada kebahagiaan kolektif. Fakta bahwa demonstrasi lahir dari akumulasi keresahan ekonomi dan ketiadaan dialog konstruktif membuktikan kegagalan Indonesia meniru model kepemimpinan ideal tersebut.
Abdul Karim Soroush dan Demokrasi yang Dibajak
Sementara itu, pemikiran Abdul Karim Soroush filsuf Iran modern tentang “Demokrasi Religius” menegaskan bahwa kebebasan berpendapat adalah hak fundamental yang tidak boleh dikorbankan atas nama stabilitas. Dalam konteks demonstrasi kali ini, beberapa hal mengkhawatirkan.
Adanya represi versus kebebasan sipil, Presiden Prabowo menyebut aksi demonstran sebagai “makar dan terorisme”, sementara aparat menggunakan kekuatan berlebihan. Ini bertentangan dengan prinsip Soroush bahwa negara harus melindungi, bukan menindas.
Indikasi hoaks dan deepfake, maraknya disinformasi dan video deepfake yang memicu eskalasi kerusuhan. Soroush akan mengkritiknya sebagai ancaman terhadap ruang publik demokratis yang memerlukan literasi media. Seringnya dialog yang ditolak, tuntutan mahasiswa untuk reformasi struktural (“17+8 Tuntutan Rakyat”) seharusnya dijawab dengan dialog, bukan kriminalisasi. Soroush menekankan bahwa demokrasi hidup jika kritik diterima sebagai bagian dari partisipasi rasional.
Demonstrasi Agustus 2025 adalah puncak gunung es dari krisis legitimasi negara. Menurut Al-Farabi, solusi jangka panjang adalah reformasi struktural yang mengembalikan harmoni kekuasaan dan keadilan sosial. Sementara Soroush mengingatkan bahwa demokrasi tidak bisa dikorbankan untuk stabilitas semu. Tanpa perubahan fundamental, Indonesia berisiko terjebak dalam siklus kekerasan yang mengikis demokrasi jauh dari cita-cita “Al-Madinah Al-Fadhilah” dan prinsip kebebasan Soroush. Sebagai jurnalis akademisi, saya menyerukan: negara harus hadir sebagai pelindung, bukan predator. (Hdk/FM)