Politik dan Integritas: Pelajaran dari Sejarah Kepemimpinan dalam Islam
![]() |
Foto : Kepemimpinan Islam antara Kekuasaan dan Moral: Teladan dan Konflik dalam Sejarah Politik Muslim (Ugy/filsafatmuslim.com) |
Filsafat Muslim - Dalam pusaran politik modern yang kerap diwarnai kompromi etis, kisah-kisah kepemimpinan dalam sejarah Islam menawarkan perspektif tajam tentang integritas. Dua narasi klasik—penolakan Nabi Muhammad SAW terhadap tawaran kekuasaan dan ketegangan antara Khalifah Harun al-Rashid dengan Imam Ali Zainal Abidin—menjadi cermin bagi bahaya politisasi agama dan pentingnya menjaga prinsip di atas ambisi.
Nabi Muhammad SAW: Menolak Kekuasaan demi Kebenaran
Pada awal dakwah di Makkah, Nabi Muhammad dihadapkan pada tawaran menggiurkan dari pemuka Quraisy: kekuasaan politik, harta berlimpah, dan pernikahan dengan wanita tercantik—asalkan beliau menghentikan seruan tauhid. Dengan tegas, Rasulullah menolak.
“Seandainya matahari diletakkan di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tak akan berhenti,” ujarnya dalam riwayat Ibnu Ishaq.
Penolakan ini menjadi fondasi etika politik dalam Islam: tujuan mulia tidak boleh dicapai dengan cara batil. “Nabi mengajarkan bahwa legitimasi kepemimpinan bukan berasal dari kekuasaan atau kekayaan, tetapi dari konsistensi pada kebenaran,” jelas Dr. Quraish Shihab, pakar tafsir Al-Qur’an.
Harun al-Rashid vs Imam Ali Zainal Abidin: Pertarungan Legitimasi di Makam Nabi
Kisah kedua terjadi pada abad ke-8 Masehi. Khalifah Harun al-Rashid dari Dinasti Abbasiyah—keturunan Abbas, paman Nabi—kerap menggunakan nasabnya untuk memperkuat legitimasi politik. Suatu hari, saat berziarah ke Makam Nabi, ia berkata: “Assalamu’alaika ya Rasulullah, aku anak pamanmu.”
Namun, Imam Ali Zainal Abidin—cucu Nabi dari garis Husain—yang juga hadir, membalas: “Assalamu’alaika ya Rasulullah, aku anakmu.” Insiden ini memicu ketegangan. Harun al-Rashid, yang merasa “dikalahkan” klaim kedekatan dengan Nabi, sempat memerintahkan penangkapan Imam Ali. Namun, menurut catatan sejarawan Al-Tabari, Khalifah akhirnya membatalkannya setelah menyadari motivasi politik di balik bisikan para penasihatnya.
“Ini contoh klasik politisasi nasab. Harun ingin menggunakan hubungan darah dengan Nabi untuk mengukuhkan kekuasaan, sementara Imam Ali mengingatkan bahwa legitimasi sejati lahir dari ketakwaan, bukan klan,” papar Prof. Azyumardi Azra, sejarawan UIN Jakarta.
Modernisasi Politikus ‘Bermuka Dua’: Agama sebagai Kendaraan
Kedua kisah ini relevan dengan fenomena politik kontemporer, di mana agama sering dijadikan alat pencitraan. Mulai dari politikus yang tiba-tiba rajin beribadah saat pemilihan, hingga penggunaan simbol-simbol keagamaan untuk menarik massa.
“Islam dijadikan ‘komoditas mahal’—dijual demi suara, tapi ditinggalkan begitu kursi diraih,” kritik Yenny Wahid, aktivis dan penggiat moderasi beragama. Ia mencontohkan kasus korupsi yang melibatkan pejabat mengaku religius: “Membangun masjid dengan uang haram sama saja merusak esensi ibadah.”
Pelajaran untuk Pemilih dan Calon Pemimpin
- Integritas di Atas Segalanya: Nabi Muhammad mengajarkan bahwa kepemimpinan harus dimulai dengan cara bersih, bukan sekadar tujuan mulia.
- Waspada Politisasi Identitas: Klaim kedekatan dengan agama atau figur suci—seperti nasab, jubah, atau cap “ustaz”—bisa jadi alat manipulasi.
- Tanggung Jawab Pemilih: Memberi suara kepada calon bermasalah, meski dengan iming-iming materi, termasuk dosa kolektif.
“Memilih pemimpin itu ibadah. Jika kita tahu seorang kandidat korup atau menggunakan cara haram, memilihnya sama saja mendukung kezaliman,” tegas KH. Said Aqil Siroj, mantan Ketua Umum NU.
Refleksi Akhir: Bisakah Politik dan Etika Bersinergi?
Sejarah Islam membuktikan bahwa politik bisa mulia jika dijalankan dengan transparansi dan prinsip. Kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz, misalnya, berhasil memakmurkan rakyat tanpa korupsi, sementara Sultan Salahuddin Al-Ayyubi merebut Yerusalem dengan menjaga martamat lawan.
“Problemnya bukan pada politik itu sendiri, tetapi pada niat dan metode. Jika Nabi saja menolak tawaran kekuasaan kotor, mengapa kita mau memperjuangkannya dengan menghalalkan segala cara?” pungkas Dr. Haidar Bagir, pemikir Islam dan penulis Islam Risalah Cinta dan Kebahagiaan. (Ugy/FM)