Malam Satu Suro di Cirebon, Menyelami Jejak Leluhur Melalui Babad dan Tradisi Sakral Keraton
Malam 1 Suro atau 1 Muharram dalam penanggalan Hijriah merupakan salah satu momentum sakral yang dirayakan dengan penuh khidmat di berbagai daerah di Indonesia. Di Cirebon, malam yang dianggap sebagai awal tahun baru Islam ini memiliki makna yang lebih dalam karena diwarnai dengan berbagai tradisi kebudayaan yang kental dengan nilai-nilai sejarah dan spiritual. Salah satu tradisi yang paling menonjol dan menjadi ikon peringatan malam 1 Suro di Cirebon adalah pembacaan Babad Cirebon yang digelar di Keraton Kanoman, serta kegiatan ziarah ke makam Sunan Gunung Jati dan pencucian pusaka di Keraton Kasepuhan. Tradisi ini tidak hanya menjadi sarana pelestarian budaya, namun juga menjadi pengingat bagi generasi muda akan akar sejarah dan perjuangan para leluhur dalam membangun Cirebon sebagai pusat peradaban dan penyebaran Islam di masa lampau.
Rangkaian acara ini diawali dengan pembacaan naskah Babad Cirebon, sebuah manuskrip kuno yang merekam perjalanan berdirinya Cirebon, kisah-kisah perjuangan spiritual, dan kepahlawanan tokoh besar seperti Sunan Gunung Jati, yang merupakan salah satu Wali Songo. Pembacaan dilakukan oleh juru kunci keraton atau tokoh adat yang mumpuni dalam bahasa Jawa kuno atau bahasa Jawa Kawi. Suasana menjadi sangat sakral ketika kalimat-kalimat kuno mulai dilantunkan, seolah membawa para pendengar untuk menembus ruang dan waktu, kembali menyusuri masa ketika Cirebon pertama kali berdiri sebagai kekuatan baru di pesisir utara Jawa Barat. Dalam tradisi ini, masyarakat diajak bukan hanya untuk mengenang, tetapi juga merenungi dan meneladani nilai-nilai luhur yang tertanam dalam kisah-kisah tersebut nilai tentang keteguhan hati, keberanian berdakwah, dan semangat membangun masyarakat yang harmonis. Usai pembacaan babad, kegiatan dilanjutkan dengan ziarah ke makam Sunan Gunung Jati yang terletak di kompleks pemakaman Astana Gunung Jati. Ziarah ini merupakan wujud penghormatan kepada tokoh utama dalam sejarah Cirebon, yang perannya tidak hanya sebagai penyebar agama Islam, tetapi juga sebagai pemimpin yang bijaksana dan peletak dasar kebudayaan Islam di wilayah tersebut. Ribuan peziarah, baik dari kalangan keluarga keraton, tokoh adat, maupun masyarakat umum, datang dengan pakaian sopan dan hati yang bersih untuk mendoakan sang wali. Momentum ini menjadi sarana spiritual yang mempererat hubungan antara manusia dengan Tuhan, sekaligus dengan para leluhur yang telah berjasa.
Tak hanya itu, peringatan malam 1 Suro juga ditandai dengan pencucian benda-benda pusaka keraton yang dilakukan khusus di lingkungan Keraton Kasepuhan. Pencucian ini tidak sekadar membersihkan secara fisik, tetapi juga mengandung makna spiritual dan simbolik sebagai bentuk penghormatan terhadap warisan budaya dan spiritual yang ditinggalkan para raja dan tokoh-tokoh terdahulu. Proses pencucian biasanya dilakukan dalam rentang waktu antara 1 hingga 10 Suro, dan menggunakan air khusus yang telah didoakan. Pusaka seperti keris, tombak, dan benda bersejarah lainnya dirawat secara saksama agar tetap lestari dan terjaga nilai historisnya. Kegiatan ini mencerminkan filosofi masyarakat Cirebon tentang pentingnya merawat warisan leluhur sebagai jati diri dan identitas budaya. Makna yang terkandung dalam seluruh rangkaian tradisi malam 1 Suro ini sungguh mendalam. Melalui pembacaan Babad Cirebon, masyarakat memperoleh pemahaman sejarah yang tidak sekadar berisi fakta, namun juga nilai-nilai moral dan spiritual yang dibungkus dalam narasi tradisional. Kegiatan ini menjaga kelestarian bahasa dan sastra Jawa, serta menjadi sarana edukasi budaya bagi generasi muda. Dalam konteks yang lebih luas, tradisi ini memperlihatkan bagaimana budaya lokal dapat berperan sebagai penjaga identitas kolektif, sekaligus sebagai sumber inspirasi dalam menghadapi tantangan zaman modern.
Puncak acara yang berlangsung pada malam 1 Suro selalu dilaksanakan dalam suasana yang khidmat dan sakral, menghadirkan kekhidmatan tersendiri bagi siapa pun yang menyaksikannya. Tidak hanya masyarakat Cirebon, banyak pula pengunjung dari luar kota yang sengaja datang untuk menyaksikan dan mengikuti rangkaian tradisi ini, menjadikannya sebagai bentuk wisata spiritual dan budaya yang unik. Keraton Kanoman dan Kasepuhan menjadi pusat dari segala kegiatan tersebut, menunjukkan bahwa warisan kerajaan Nusantara masih hidup dan berperan penting dalam kehidupan masyarakat hingga hari ini. Segala kekayaan nilai dan pesan yang tersimpan dalam tradisi malam 1 Suro di Cirebon, maka tidaklah berlebihan jika kita menyebutnya sebagai peristiwa budaya yang menyatukan masa lalu, masa kini, dan masa depan dalam satu harmoni spiritual. Tradisi ini bukan sekadar seremonial, tetapi menjadi pengingat bahwa setiap jejak leluhur adalah cermin untuk membangun masa depan yang berakar pada kearifan lokal. Di tengah arus globalisasi yang kian deras, Cirebon tetap menjaga identitas dan kearifan budaya lewat malam yang hening, penuh doa, dan lantunan kisah dari masa silam. (Abel/FM)