Ramai Debat Aturan Shaf Shalat, Begini Sikap Muslim yang Benar Menurut Al-Qur'an
Filsafat Muslim - Media sosial dan ruang diskusi seringkali dipenuhi perdebatan sengit tentang ajaran agama. Tak jarang, sebuah aturan yang sudah jelas dan dipraktikkan selama berabad-abad tiba-tiba dipermasalahkan. Salah satu contoh paling aktual adalah aturan mengenai shaf (barisan) shalat berjamaah.
Ketika muncul argumen yang membela praktik shalat dengan shaf campur aduk atas nama "kesetaraan", banyak dari kita yang merasa geram dan terpancing untuk ikut berdebat. Namun, bagaimana seharusnya sikap seorang Muslim yang bijak dalam menghadapi fenomena ini? Ternyata, Al-Qur'an telah memberikan panduan yang sangat jelas dan elegan.
Peringatan Keras: Jangan Berdebat untuk Membela Kesalahan
Sebelum membahas kasus shaf shalat, penting untuk memahami sebuah prinsip dasar yang Allah tegaskan dalam Al-Qur'an:
"Dan janganlah kamu berdebat untuk (membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang selalu berkhianat dan bergelimang dosa." (QS. An-Nisa': 107)
Ayat ini memberikan peringatan keras terhadap perbuatan sengaja mencari-cari argumentasi untuk membela sesuatu yang jelas-jelas salah dan melawan sesuatu yang sudah pasti benar. Perilaku ini, menurut Al-Qur'an, adalah ciri khas orang munafik. Mereka gemar menciptakan kontroversi dan melawan kebenaran hanya untuk mempertahankan ego atau agenda tersembunyi.
Studi Kasus: Hikmah di Balik Aturan Shaf Shalat
Aturan shaf shalat, di mana laki-laki di barisan depan dan perempuan di barisan belakang, bukanlah aturan yang dibuat-buat. Ini adalah tuntunan langsung dari Nabi Muhammad SAW, yang bukan hanya disampaikan lewat lisan tapi juga dipraktikkan dan diatur dengan sangat detail.
Lalu, mengapa aturan ini sekarang diperdebatkan? Biasanya, argumen yang muncul adalah tentang kesetaraan gender dan tuduhan bahwa menempatkan perempuan di belakang adalah bentuk perendahan. Padahal, pemahaman ini keliru.
Status di mata Allah tidak ditentukan oleh posisi shaf, melainkan oleh tingkat kepatuhan (takwa). Justru ketika seorang perempuan mematuhi aturan Allah dan Rasul-Nya dengan mengambil shaf di belakang, statusnya menjadi mulia.
Hikmah di balik pemisahan shaf ini sangatlah agung:
1. Menjaga Kekhusyukan: Untuk menjaga konsentrasi dan kekhusyukan ibadah, baik bagi laki-laki maupun perempuan.
2. Menjaga Kehormatan: Untuk menghindari ikhtilat (campur baur) yang tidak perlu dan menjaga kehormatan serta pandangan masing-masing.
3. Mengikuti Sunnah Nabi: Kepatuhan pada aturan ini adalah bukti cinta dan ketaatan pada Nabi, yang di dalamnya terdapat keberkahan tak terhingga.
Melanggar aturan yang sudah jelas hikmahnya ini hanya akan menimbulkan kontroversi, perdebatan, dan pada akhirnya, perpecahan.
Menyikapi Kontroversi: 5 Langkah Elegan Seorang Muslim
Saat Anda melihat perdebatan semacam ini memanas, jangan terburu-buru "turun gunung" dengan amarah. Islam mengajarkan cara merespons yang jauh lebih bijak dan produktif, sebagaimana diisyaratkan dalam Surah An-Nisa' ayat 140.
1. Hindari dan Jauhi Jika Anda menemukan forum, akun, atau tempat yang secara sengaja menyebarkan pemahaman yang menyimpang dan kontroversial, langkah pertama yang paling aman adalah menjauhinya. Jangan ikuti, jangan daftar, dan jangan habiskan waktu Anda di sana.
2. Jangan Terpancing Berdebat Kusir Meladeni perdebatan dengan orang yang tujuannya bukan mencari kebenaran adalah sia-sia. Hal ini hanya akan menguras energi, mengeraskan hati, dan memancing keluarnya kata-kata kotor yang akan merusak pahala Anda sendiri.
3. Tinggalkan Hinaan dan Celaan Tugas kita adalah menyampaikan kebaikan dengan cara yang baik. Jika Anda merespons sebuah kesalahan dengan cacian dan hinaan, maka Anda dan mereka menjadi sama-sama tercela. Islam tidak mengajarkan itu.
4. Doakan Agar Mendapat Hidayah Ini adalah sikap yang paling mulia. Seburuk-buruknya seseorang, selama ia masih hidup, pintu hidayah Allah masih terbuka untuknya. Doakan mereka dalam sujud Anda. Siapa tahu, melalui doa tulus Anda, Allah berkenan mengubah hatinya.
5. Biarkan Ahlinya yang Meluruskan Urusan meluruskan penyimpangan di ruang publik adalah tugas mereka yang memiliki wewenang. Para ulama meluruskan dengan ilmu dan dalil, sementara pemerintah (umara) menertibkan dengan aturan dan kebijakan. Tugas kita adalah mendukung mereka dan tidak mengambil peran yang bukan wewenang kita.
Pada akhirnya, tujuan kita beragama bukanlah untuk memenangkan setiap perdebatan, melainkan untuk menjaga hati dan amalan kita agar tetap lurus di jalan Allah. Daripada menghabiskan waktu dalam perdebatan yang tak berujung, lebih baik gunakan waktu itu untuk belajar, beramal, dan mendoakan kebaikan bagi seluruh umat. (Ugy/FM)