Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pasar Gelap Keadilan

 


Pasar Gelap Keadilan

Oleh: Fikri Haikal Hidayat


Hari-hari ini, bangsa indonesia hidup dalam suatu kebimbangan. Dimana kebimbangan kita terekam dalam ekpresi “Republic of Fear”. Politik sebagai alat pemersatu kepentingan bangsa berubah menjadi politik akumulasi modal. Dalam artian, politik mengesampingkan pemilik kepentingan asli yaitu rakyat indonesia. Politik kemajemukan bukan menjadi satu-satunya barang kepentingan yang terdapat dalam pasar keadilan itu. Bercampurnya politik akumulasi modal dengan politik kemajemukan mengubah pasar keadilan menjadi pasar gelap keadilan. 

Kondisi kepentingan rakyat dipasarkan dengan sistem penjualan obral dengan harga murah. Kepentingan rakyat hanya terucap mahal dalam pidato para pejabat yang mengaku berasal dari rakyat. Politik tidak lagi terlaksana dalam ruang-ruang publik. Akan tetapi, politik beralih kepada ruang-ruang privat. Dengan demikian, politik berlangsug hanya dalam tukar tambah kekuasaan yang dibalut atas dasar oportunisme individual bukan dalam kalkulasi ideologis.

Dengan perawakan ceria, para koruptor dengan percaya diri berfose depan kamera karena yakin bahwa putusan sang juru keadilan dapat dibatalkan oleh kekuasaan. Karena kepentingan bersua kepentingan, keinginan bergandengan dengan kebutuhan. Dalam tontonan televisi, politik bahkan disahkan sebagai “uang tunai”. Sang kepala daerah sudah meneken proyek-proyek pemerintah kepada para pemilik modal. Bahkan sebelum terpilih, sang calon kepala daerah sudah menyusun struktur kepemimpinannya. Dengan demikian, keuangan pemerintah daerah condong pada pembesaran pengeluaran rutin pejabat dan birokrasi ketimbang pada pengeluaran dalam membangun kesejahteraan rakyat.  

Maka mudah membaca bahwa “Index Pembangunan Manusia” tetap berada dalam pusaran kepedihan dikarenakan perbaikan kamar mandi walikota lebih diprioritaskan dibanding membangun puskesmas kecamatan. Bahkan langkah preventif kemungkinan sang calon kepala daerah di OTT sudah dirancang sebelum mencalonkan diri. Maka manusia yang memiliki hasrat kekuasaan yang berlebih berbondong-bondong mengikuti pilkada setiap tahunnya. Tentu itu semua tidaklah transaksi politik yang gratis. Seperti kata pepatah cina, tidak ada makan siang yang gratis. Sekali lagi : kepentingan bersua kepentingan, kemauan menggandeng kebutuhan.