Jurnalisme Kritis Tak Pernah Padam: Menilik Peran Lembaga Pers ITERA di Tengah Dinamika Kampus
Filsafat Muslim - Di tengah dinamika kebebasan pers kampus yang sering kali menghadapi tantangan subtil seperti minimnya akses informasi dan respons institusional, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pers Mahasiswa Institut Teknologi Sumatera (LEMBAGA PERS ITERA) justru menegaskan komitmennya sebagai corong suara kritis mahasiswa. Di bawah kepemimpinan Asavira Azzahra, mahasiswa Program Studi Teknik Informatika angkatan 2022, LEMBAGA PERS ITERA tengah menjalani fase transformasi untuk memperkuat fondasi jurnalistik yang berimbang dan peka terhadap isu strategis.
Dari Fotografi ke Jurnalisme Kritis: Transformasi LEMBAGA PERS ITERA
Sejak berdiri 11 tahun lalu, LEMBAGA PERS ITERA awalnya lebih fokus pada kegiatan fotografi. Namun, seiring waktu, lembaga ini bergeser menjadi wadah jurnalistik kampus. “Di periode kepengurusan saya, kami sedang fokus memperkuat sisi jurnalistik, terutama dalam melatih kepekaan anggota terhadap isu-isu strategis,” tegas Asavira dalam wawancara eksklusif.
Perubahan ini tidak mudah. Asavira mengakui, tantangan terbesar adalah pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). “Banyak anggota baru dari angkatan 2023 dan 2024 yang perlu dilatih menulis berita, opini, hingga investigasi. Kami bahkan mengadakan workshop untuk membangun rasa kritis mereka,” ujarnya.
Diskusi Kritis dan Refleksi atas Pemberitaan: Momentum Evaluasi Bersama
Komitmen LEMBAGA PERS ITERA terhadap jurnalistik yang berpihak pada fakta dan kejujuran diuji ketika salah satu artikel mereka yang membahas kebijakan kampus menarik perhatian publik dan kemudian memicu pertemuan dengan pihak rektorat.
“Diskusi ini lebih kepada refleksi dan evaluasi bersama terhadap artikel yang dirilis, sekaligus membahas langkah ke depan agar komunikasi antara PERS dan institusi bisa lebih terbuka,” ujar Asavira. Ia menekankan bahwa artikel tersebut muncul bukan karena niat untuk memojokkan, tetapi sebagai respons atas minimnya keterangan resmi terhadap isu yang berkembang di lingkungan kampus.
“Sebelum publikasi, kami sebenarnya telah berupaya meminta klarifikasi, tapi tidak mendapat respons. Tujuan kami sederhana: menyampaikan suara yang selama ini tidak terdengar,” tambahnya.
Dukungan pada Media Independen dan Tantangan Eksternal
Asavira menyoroti pentingnya peran media independen seperti AJI (Aliansi Jurnalistik Independen) dan APML (Aliansi Pers Mahasiswa Lampung) yang menurutnya “mengangkat suara-suara marginal”. Ia juga mengkritik fenomena media arus utama yang kerap mengabaikan fakta. Menurutnya, tantangan terbesar jurnalisme mahasiswa saat ini adalah membedakan diri dari konten-konten viral yang minim verifikasi namun cepat menyebar.
Ketika ditanya tentang respons kampus terhadap kritik terhadap pemerintah, Asavira menyatakan, “Kampus cenderung netral. Misalnya, saat demo mahasiswa ke DPR, mereka tidak melarang tapi juga tidak mendukung penuh. Ini cerminan sikap 50-50: tidak menolak kritik, namun cenderung memilih pendekatan yang moderat.”
Harapan ke Depan: Jurnalisme yang Berkelanjutan
Asavira berharap, LEMBAGA PERS ITERA tidak kembali ke masa di mana apatisme mendominasi. “Saya ingin setelah periode saya berakhir, semangat kritis ini tetap hidup. Anggota harus peduli pada isu sekitar, mulai dari masalah kampus hingga nasional,” tandasnya.
Ia juga menekankan pentingnya keberlanjutan. “Apa yang sudah kami bangun—pelatihan, budaya menulis, dan keberanian bersuara—harus terus berkembang, bukan malah mundur.”
Di bawah kepemimpinannya, LEMBAGA PERS ITERA tampil sebagai media mahasiswa yang tidak hanya memproduksi informasi, tetapi juga menjaga semangat kritis dalam koridor etika jurnalistik. Seperti yang dikatakan Asavira, “Jangan sampai karena ada kekhawatiran terhadap kritik, kita justru berhenti bersuara. Di situlah peran penting pers: menyuarakan yang tidak terdengar.” (Ugy/FM)