Tan Malaka: Revolusioner yang Terlupakan dan Visi Republik Indonesia yang Radikal
Filsafat Muslim - Tan Malaka, salah satu tokoh paling kontroversial dan visioner dalam sejarah perjuangan Indonesia, sering disebut sebagai 'Bapak Republik yang Dilupakan". Meski pemikirannya menjadi fondasi ideologis kemerdekaan, namanya kerap tenggelam dalam narasi resmi sejarah. Lahir pada 2 Juni 1897 di Nagari Pandam Gadang, Sumatra Barat, Tan Malaka adalah sosok revolusioner yang menggabungkan Marxisme dengan nasionalisme anti-kolonial.
Masa Awal: Dari Guru Rakyat ke Aktivis Internasional
Nama aslinya adalah Ibrahim Datuk Tan Malaka. Setelah menempuh pendidikan di Kweekschool (Sekolah Guru) Bukittinggi, ia melanjutkan studi ke Belanda (1913-1919). Di sana, ia terpapar pemikiran sosialis dan Marxis yang kelak membentuk perjuangannya.
Pada 1921, Tan Malaka kembali ke Indonesia dan menjadi guru untuk anak-anak buruh perkebunan di Deli, Sumatra Utara. Melihat penderitaan rakyat di bawah kolonialisme, ia bergabung dengan Sarekat Islam (SI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun, berbeda dengan tokoh PKI lainnya, Tan Malaka menolak pemberontakan prematur seperti Peristiwa 1926, yang ia anggap tidak terorganisir dengan baik.
Pengasingan dan Perjuangan Global
Akibat aktivitasnya, Tan Malaka diusir Belanda pada 1922. la menghabiskan dua dekade dalam pengasingan, berpindah dari Singapura, Filipina, hingga Tiongkok. Di pengasingan, ia menulis karya monumental "Naar de Republiek Indonesia" (1925), buku pertama yang secara terbuka menyerukan kemerdekaan Indonesia berbasis republik sosialis.
Pada 1927, ia mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di Bangkok, yang bertujuan menggulingkan kolonialisme melalui perjuangan bersenjata. Namun, upayanya kurang mendapat dukungan massal karena minimnya infrastruktur politik saat itu.
Peran dalam Revolusi Kemerdekaan
Tan Malaka kembali ke Indonesia pada 1942, menyamar selama pendudukan Jepang. Pasca-Proklamasi 1945, ia muncul sebagai kritikus utama pemerintahan Sukarno-Hatta. la menolak diplomasi dengan Belanda melalui Perundingan Linggarjati (1947) dan Renville (1948), yang dianggapnya mengorbankan kedaulatan.
Dalam pidato terkenalnya, ia berujar: "100% Merdeka atau mati!" semboyan yang menginspirasi gerakan radikal seperti Front Demokrasi Rakyat (FDR). Namun, ketegangannya dengan elite politik membuat ia dijebloskan ke penjara oleh pemerintah Sukarno pada 1948 tanpa pengadilan.
Ideologi dan Kontroversi
Tan Malaka menganut Marxisme-Leninisme yang diadaptasi ke konteks Indonesia. Dalam buku "Madilog" (Materialisme, Dialektika,Logika) (1943), ia menawarkan metode berpikir kritis untuk membebaskan rakyat dari belenggu feodalisme dan kolonialisme. Visinya tentang Indonesia merdeka adalah negara sosialis yang mandiri, dengan pendidikan dan ekonomi berbasis kerakyatan.
Namun, ia sering berselisih dengan kelompok kiri lainnya. PKI di bawah Musso menganggapnya "trotskyis", sementara kelompok nasionalis mengkritiknya sebagai terlalu radikal.
Misteri Kematian dan Pengakuan sebagai Pahlawan
Pada 21 Februari 1949, Tan Malaka dieksekusi oleh pasukan TNI di lereng Gunung Wilis, Kediri, Jawa Timur, atas tuduhan makar. Kematiannya diselimuti misteri selama puluhan tahun. Baru pada 1963, Sukarno memberinya gelar Pahlawan Nasional melalui Keppres No. 53.
Arsip Belanda dan kesaksian mantan tentara TNI mengungkap bahwa eksekusi ini diduga dipicu oleh ketakutan pemerintah terhadap pengaruh Tan Malaka yang dianggap mengancam stabilitas.
Warisan dan Relevansi Pemikiran Hari Ini
Pemikiran Tan Malaka kembali populer di kalangan aktivis dan akademisi muda pasca-Reformasi. Buku-bukunya menjadi bacaan wajib gerakan mahasiswa dan kelompok kiri. Gagasannya tentang "Republik Rakyat" dan antineokolonialisme relevan dengan isu ketimpangan sosial dan dominasi asing di era globalisasi.
Pada 2022, pemerintah Indonesia mengabadikan namanya sebagai nama bandara internasional di Sumatra Barat (Bandara Internasional Minangkabau), meski menuai pro-kontra.
Sejarawan Harry A. Poeze, penulis biografi Tan Malaka, menyatakan: "Dia jauh melampaui zamannya. Jika saja para pemimpin saat itu mendengarkannya, mungkin jalan Indonesia menuju kemerdekaan akan lebih berdaulat." (Ugy/FM)