Muhammadiyah: Gerakan Pembaruan Islam dan Pengabdian untuk Kemajuan Bangsa
Filsafat Mulsim - Sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah telah menjadi pelopor gerakan pembaruan (tajdid) yang menggabungkan nilai-nilai keislaman dengan modernitas. Didirikan pada 18 November 1912 di Yogyakarta oleh K.H. Ahmad Dahlan, Muhammadiyah lahir dari semangat memurnikan ajaran Islam sekaligus menjawab tantangan kolonialisme, kemiskinan, dan keterbelakangan pendidikan.
Akar Sejarah: Membawa Islam Berkemajuan
K.H. Ahmad Dahlan, seorang ulama yang terinspirasi oleh pemikiran reformis Mesir seperti Muhammad Abduh, mendirikan Muhammadiyah untuk memberantas praktik takhayul, bidah, dan khurafat (TBC) yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Berbeda dengan NU yang berfokus pada tradisi pesantren, Muhammadiyah mengedepankan pendekatan modern melalui pendirian sekolah, rumah sakit, dan lembaga sosial.
Di era kolonial Belanda, Muhammadiyah aktif membangun sekolah modern yang mengintegrasikan kurikulum agama dan umum. Pada 1923, organisasi ini sudah memiliki 55 sekolah di Jawa. Mereka juga mendirikan klinik kesehatan dan panti asuhan, menjadi contoh nyata gerakan "amar ma'ruf nahi munkar (mengajak kebaikan, mencegah kemungkaran).
Peran dalam Perjuangan Kemerdekaan Muhammadiyah tidak secara langsung terlibat dalam perang fisik, tetapi kontribusinya terlihat dari pembangunan infrastruktur pendidikan dan kesadaran kebangsaan. Tokoh Muhammadiyah seperti Ki Bagus Hadikusumo turut merumuskan Pancasila dan UUD 1945. Pada 1945, Ki Bagus menjadi salah satu anggota BPUPKI yang memperjuangkan prinsip keislaman dalam dasar negara tanpa mengesampingkan kebhinekaan. Muhammadiyah di Era Politik: Dari
Masyumi ke PAN
Pada 1943, Muhammadiyah bergabung dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), partai Islam yang menjadi wadah perjuangan politik umat. Namun, setelah Masyumi dibubarkan oleh Soekarno (1960), Muhammadiyah memilih fokus pada dakwah dan pendidikan.
Di masa Orde Baru, Muhammadiyah menjaga netralitas politik sambil terus mengembangkan lembaga pendidikan dan kesehatan. Baru pada era Reformasi, Muhammadiyah terlibat kembali dalam politik melalui pendirian Partai Amanat Nasional (PAN) pada 1998, dengan tokoh seperti Amien Rais sebagai ketua umum pertama.
Kontribusi Pendidikan dan Kesehatan
Hingga kini, Muhammadiyah mengelola 5.229 sekolah, 172 perguruan tinggi (termasuk Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Malang), serta 457 rumah sakit dan klinik di seluruh Indonesia. Lembaga seperti Aisyiyah (organisasi otonom perempuan Muhammadiyah) juga berperan besar dalam pemberdayaan perempuan dan anak.
Di bidang kemanusiaan, Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) menjadi garda terdepan dalam penanganan bencana. Saat erupsi Merapi (2010), gempa Palu (2018), dan pandemi COVID-19 (2020-2022), relawan Muhammadiyah turun langsung membantu korban.
Penjaga Moderasi dan Penangkal Radikalisme
Muhammadiyah konsisten menolak paham ekstrem. Pada 2018, melalui Majelis Tarjih dan Tajdid, organisasi ini mengeluarkan fatwa yang menegaskan bahwa tindakan terorisme bertentangan dengan ajaran Islam. Mereka juga aktif dalam dialog antaragama dan mendukung pemerintah menangkal gerakan transnasional seperti ISIS.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dalam pidatonya sering menekankan: "Islam berkemajuan harus menjadi solusi, bukan masalah. Kita harus menghadirkan Islam yang ramah, bukan marah."
Muhammadiyah di Panggung Global
Muhammadiyah semakin mendunia melalui kerja sama dengan organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Pada 2020, Muhammadiyah menerima penghargaan dari PBB atas kontribusinya dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Melalui inisiatif seperti Conferences of World Religions (2018), Muhammadiyah mempromosikan perdamaian global dan toleransi. Tokoh muda Muhammadiyah juga aktif dalam gerakan lingkungan, seperti kampanye pengurangan sampah plastik dan energi terbarukan.
Tantangan dan Harapan ke Depan
Dengan anggota sekitar 30 juta orang, Muhammadiyah tetap menjadi kekuatan sosial yang signifikan. Namun, tantangan seperti polarisasi politik, generasi muda yang mulai menjauh dari organisasi, dan maraknya hoaks keagamaan harus diatasi.
Sejarawan menilai Muhammadiyah perlu terus memodernisasi diri tanpa kehilangan identitas. "Gerakan tajdid bukan hanya tentang pembaruan pemikiran, tapi juga adaptasi terhadap perubahan zaman," ujar Prof. Syafiq Mughni, pakar sejarah Muhammadiyah. (Ugy/FM)