Sunan Kalijaga: Wali Penjaga Budaya dan Arsitek Islamisasi Jawa yang Humanis
Filsafat Muslim - Sunan Kalijaga, salah satu dari Wali Songo, tidak hanya dikenal sebagai penyebar Islam di Jawa, tetapi juga sebagai sosok yang membangun peradaban melalui pendekatan budaya dan kearifan lokal. Lahir sekitar tahun 1450 dengan nama Raden Sahid, ia menjadi simbol toleransi dan akulturasi Islam dengan tradisi Jawa. Metode dakwahnya yang halus, lewat seni dan filosofi kehidupan, menjadikannya legenda yang abadi dalam ingatan masyarakat.
Asal-Usul dan Transformasi Spiritual
Sunan Kalijaga adalah putra Tumenggung Wilatikta, adipati Tuban yang awalnya menentang Islam. Menurut Babad Tanah Jawi, ia meninggalkan kehidupan bangsawan setelah merasa tidak puas dengan ketimpangan sosial di masa Majapahit. Berguru pada Sunan Bonang, ia menjalani laku spiritual (tapa) di tepi sungai (kali) selama bertahun-tahun, hingga dijuluki "Kalijaga" penjaga sungai.
Perjalanan spiritualnya mencerminkan sintesis antara tasawuf Islam dan nilai Jawa. Dalam Serat Centhini, ia digambarkan sebagai sosok yang menguasai ilmu hakikat (esoteris) sekaligus merangkul kebudayaan.
Dakwah melalui Seni dan Kearifan Lokal
Berbeda dengan pendekatan formal, Sunan Kalijaga menggunakan media seni dan tradisi untuk menyebarkan Islam:
1. Wayang Kulit: Mengadaptasi cerita Mahabharata dan Ramayana dengan memasukkan simbol-simbol Islam, seperti mengganti dewa-dewi dengan tokoh punakawan (Semar, Gareng, Petruk) yang merepresentasikan nilai kerendahan hati.
2. Gamelan dan Tembang: Menciptakan tembang Lir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul yang sarat makna spiritual. Gamelan digunakan sebagai pengiring adzan di Masjid Demak.
3. Budaya Pesisiran: Memadukan ritual Jawa dengan syariat Islam, seperti selamatan dengan pembacaan doa Islam (tahlilan).
la juga dikenal sebagai arsitek Masjid Agung Demak, yang menggabungkan arsitektur Hindu-Jawa dengan simbol Islam, seperti tiang "saka tatal" yang melambangkan persatuan.
Politik dan Diplomasi di Kesultanan Demak
Sunan Kalijaga bukan hanya ulama, tapi juga negarawan. la menjadi penasihat Sultan Demak (Raden Patah) dan terlibat dalam strategi menghadapi sisa-sisa pengaruh Majapahit. Perannya dalam mengislamkan elit kerajaan, seperti Raja Pandhita Tembayat (Ki Ageng Pandanaran), menunjukkan kecerdikannya dalam diplomasi kultural.
Filosofi "Memayu Hayuning Bawono"
Ajaran utamanya, "Memayu Hayuning Bawono" (memelihara keindahan dunia), menekankan harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan, la mengajarkan tasawuf inklusif, seperti tertuang dalam suluk (kitab puisi sufi) karya muridnya, Sunan Panggung.
Dalam salah satu pesannya yang terkenal: "Adigang, adigung, adiguna (jangan sombong atas kekuatan, status, atau kepandaian) refleksi dari nilai kesederhanaan dan anti-feodalisme.
Warisan Abadi dan Kontroversi
Sunan Kalijaga meninggal sekitar 1513 dan dimakamkan di Kadilangu, Demak, yang kini menjadi tempat ziarah. Namun, beberapa sejarawan seperti Agus Sunyoto dalam "Atlas Wali Songo' menyoroti bahwa banyak kisah hidupnya bercampur mitos, seperti legenda bertemu Nabi Khidir atau kemampuan supranatural.
Meski begitu, pengaruhnya tetap nyata:
Pesantren Budaya: Model pendidikan yang memadukan agama dan seni, seperti di Pesantren Cirebon.
Toleransi Beragama: Gagasannya menjadi inspirasi dialog antaragama di Indonesia. Seni Tradisional: Wayang dan gamelan diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia.
Relevansi di Era Modern
Di tengah maraknya radikalisme, ajaran Kalijaga tentang moderasi dan akulturasi kembali digaungkan. Pada 2020, Presiden Joko Widodo menyebutnya sebagai "prototipe Islam Nusantara". Lembaga seperti Nahdlatul Ulama (NU) juga menjadikan metodenya sebagai rujukan dakwah...
Namun, tantangan tetap ada. Generasi muda kerap menganggap budaya wayang sebagai kuno, sementara kelompok puritan mengkritik praktik sinkretisme warisannya.
Sejarawan Prof. Slamet Muljana dalam "Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa" menegaskan: "Tanpa Kalijaga, Islam mungkin tak akan menyatu dengan jiwa Jawa. Dialah penjembatan antara dua peradaban." (Ugy/FM)