UKMF FOSI FP Unila di Bawah Nahkoda Baru: Menjawab Apatisme Mahasiswa dan Merawat Nalar Kritis di Tengah Tantangan Zaman
Foto : UKMF FOSI FP Unila (Ugy/filsafatmuslim.com)
Filsafat Muslim - Di tengah dinamika tantangan zaman yang kian kompleks, mulai dari apatisme generasi muda hingga krisis sosial dan politik, organisasi mahasiswa dituntut untuk tidak sekadar menjadi wadah berkumpul, tetapi juga mercusuar pemikiran. Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas (UKMF) Forum Studi Islam (FOSI) Fakultas Pertanian (FP) Universitas Lampung (Unila) menjawab panggilan tersebut di bawah kepemimpinan baru Maulana Adib Al Bayan (Agronomi & Hortikultura 2023).
Dalam sebuah wawancara eksklusif, Maulana memaparkan visinya yang tajam dan relevan, memosisikan FOSI sebagai garda terdepan dalam membentuk karakter mahasiswa Muslim yang tidak hanya saleh secara ritual, tetapi juga peka dan solutif terhadap isu-isu di sekitarnya.
Visi "Rumah Dakwah Inovatif" untuk Generasi Apatis
Menjawab pertanyaan mengenai visi utama dan tantangan mahasiswa Muslim yang cenderung apatis, Maulana menegaskan bahwa FOSI harus menjadi sebuah "rumah dakwah yang inovatif dan solutif."
"Visi yang kami usung adalah menjadikan FOSI sebagai rumah dakwah. Rumah berarti sebuah tempat yang menerima siapa saja, dari berbagai latar belakang, tanpa memandang golongan," ujar Maulana. "Tujuannya adalah untuk melahirkan kader-kader yang berintegritas, mampu bekerja kolektif, dan inspiratif."
Menurutnya, masalah utama mahasiswa Muslim hari ini adalah pemahaman agama yang parsial. "Banyak yang lantang menolak zina, tetapi diam saat dihadapkan pada isu ketidakjujuran atau pencurian. Mereka mengambil hukum atas dasar kemauan sendiri," kritiknya.
Untuk menjawab hal tersebut, FOSI mengusung tiga pilar utama:
1. Berilmu Amaliah dan Beramal Ilmiah: Setiap ilmu harus diamalkan, dan setiap amalan harus didasari oleh ilmu yang jelas. Ini selaras dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
2. Jiwa Saja'ah (Pemberani): Membentuk karakter mahasiswa yang berani menyuarakan kebenaran dan gagasan, bahkan di tengah lingkungan yang tidak mendukung.
3. Program yang Menyentuh Langsung: FOSI secara aktif menggelar kajian rutin dan program sosial yang relevan. Sebagai contoh konkret, Maulana menyebut kegiatan "Saur on the Road" di bulan Ramadan yang berkolaborasi dengan komunitas motor. "Kami satu-satunya organisasi dakwah kampus yang ikut. Kami ingin menunjukkan bahwa dakwah bisa menyentuh semua kalangan, bahkan 'anak motor', dan mematahkan stigma negatif," jelasnya.
Menyikapi Keragaman Beragama: Tegas pada Prinsip, Lentur pada Metode
Kampus adalah miniatur masyarakat dengan keragaman cara beragama, mulai dari yang moderat, konservatif, hingga yang bersifat simbolik seperti tren hijrah di media sosial. Maulana menyatakan bahwa FOSI menyikapi ini dengan sikap terbuka lebar.
"Kami merangkul semua lini untuk mewujudkan jargon 'Satu Pertanian Jaya', yang seirama dengan perintah Allah untuk tidak bercerai-berai," tuturnya.
Namun, keterbukaan ini memiliki batasan yang jelas. Maulana menekankan pentingnya membedakan antara wilayah muamalah (interaksi sosial) dan akidah (prinsip keyakinan).
"Untuk hal-hal yang sifatnya muamalah, seperti perbedaan pandangan soal doa qunut dalam salat, kita bisa moderat. Itu bukan hal yang harus dipaksakan," jelasnya. "Tetapi, jika sudah menyangkut tauhid atau keesaan Allah, tidak ada ruang untuk toleransi kompromistis. Di situ kami tegas."
Keadilan Pangan dan Politik Kebangsaan: Suara Mahasiswa Muslim
Sebagai mahasiswa Fakultas Pertanian, FOSI menaruh perhatian khusus pada krisis keadilan sosial di sektor pertanian, seperti anjloknya harga singkong yang mencekik petani kecil di Lampung.
"Peran kami adalah mengawal agar kesejahteraan petani benar-benar terealisasi, bukan hanya janji manis di atas kertas," tegas Maulana. "Jalannya adalah melalui program pengabdian masyarakat, kolaborasi yang solutif, dan memastikan keadilan ditegakkan berdasarkan kebutuhan (needs), bukan sekadar keinginan (wants)."
Terkait dinamika politik pasca-Pemilu 2024, Maulana memandang peran mahasiswa Muslim dalam isu kebangsaan dan politik sangatlah besar. Ia menyayangkan polarisasi dan labelisasi negatif terhadap Islam.
"Batasan kita dalam berpolitik adalah nilai-nilai Islam itu sendiri. Saat memilih pemimpin, misalnya, kita harus mencari setidaknya empat sifat Rasulullah: siddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan), dan fathanah (cerdas)," paparnya. "Kita menghormati negara hukum Indonesia, tetapi itu tidak berarti kita harus bungkam terhadap ketidakadilan."
Pesan Penutup: Kembalikan Kejayaan Islam, atau Jangan Malukan Namanya
Sebagai penutup, Maulana menyampaikan harapan sekaligus pesan yang kuat bagi generasi mahasiswa Muslim di seluruh Indonesia. Baginya, harapan harus diiringi dengan tindakan nyata.
"Harapan terbesar saya adalah agar para pemuda hari ini membuka mata mereka terhadap peradaban. Kembalikanlah kejayaan Islam pada masanya," serunya dengan penuh semangat.
Ia kemudian menutup dengan sebuah kutipan nasihat yang tajam dan reflektif dari orang tuanya, yang menjadi pesan utamanya untuk generasi sekarang:
"Jika kamu tidak bisa membangkitkan kembali kejayaan Islam, maka setidaknya jangan membuat malu nama Islammu."
Pesan ini menjadi pengingat bahwa di tengah segala tantangan, menjaga integritas dan karakter sebagai seorang Muslim adalah tanggung jawab paling mendasar yang harus diemban oleh setiap generasi. (Ugy/FM)