Krisis Limbah Tekstil Global dan Relevansinya bagi Indonesia: Ketika Dunia Membayar Mahal untuk Gaya Instan
Filsafat Muslim - Di pusat-pusat mode dunia seperti Paris, Milan, hingga New York, tren fesyen bergerak cepat, gemerlap, dan nyaris tanpa jeda. Fast fashion atau mode cepat menjadi primadona industri tekstil modern dengan siklus produksi dan distribusi yang sangat singkat. Setiap minggu, koleksi baru meluncur ke rak-rak toko, menampilkan desain yang tampak segar, kreatif, dan terjangkau.
Namun di balik gemerlap catwalk dan etalase toko-toko besar, terdapat sisi kelam yang jarang disorot. Industri ini menyembunyikan jejak limbah yang sangat besar. Pakaian yang diproduksi massal hanya untuk dipakai beberapa kali, kemudian dibuang begitu saja, telah menjelma menjadi salah satu penyumbang limbah terbesar di dunia.
Berdasarkan data terbaru, industri mode memproduksi lebih dari 100 miliar potong pakaian setiap tahun. Ironisnya, sekitar 92 juta ton pakaian tersebut berakhir sebagai limbah. Artinya, dalam setiap detik, satu truk penuh pakaian terbuang ke tempat pembuangan akhir. Tanpa pembenahan, jumlah ini diperkirakan melonjak menjadi 134 juta ton limbah per tahun sebelum 2030.
Studi McKinsey mencatat bahwa rata-rata pakaian kini hanya dikenakan 7 hingga 10 kali sebelum digantikan oleh yang baru. Dalam kurun waktu 15 tahun terakhir, frekuensi pemakaian ini turun lebih dari 35%. Dulu pakaian bertahan bertahun-tahun, kini hanya beberapa pekan atau bulan.
Banyak merek besar terpergok menghancurkan atau membakar stok pakaian baru yang tidak laku. Ini dilakukan untuk menjaga citra merek dan menghindari biaya penyimpanan. Fenomena ini menambah ironi bahwa sumber daya alam yang telah dikuras hanya menghasilkan produk yang bahkan tidak sempat dikenakan.
Kualitas rendah pakaian fast fashion memperburuk keadaan. Karena dibuat terburu-buru dengan bahan murah, pakaian mudah rusak dan lekas ketinggalan zaman. Lingkaran konsumsi yang tidak berkesudahan tercipta: beli, pakai, buang.
Di Amerika Serikat, sekitar 85% dari semua tekstil akhirnya dibuang ke tempat pembuangan akhir setiap tahun. Rata-rata, satu orang menyumbang 37 kg limbah pakaian setiap tahunnya. Industri mode turut menyumbang hampir 10% dari total emisi karbon global, bahkan lebih besar daripada gabungan emisi sektor penerbangan dan pelayaran internasional.
Mode cepat juga rakus akan air. Dibutuhkan sekitar 7.500 liter air hanya untuk memproduksi satu celana jeans, mulai dari irigasi kapas hingga pewarnaan kain. Tak heran jika laporan PBB pada 2019 menyebut industri pakaian sebagai penyumbang 20% limbah air dunia.
Sekitar 60% bahan pakaian modern berasal dari plastik, seperti poliester dan nilon. Pakaian ini tidak dapat terurai secara hayati dan akhirnya menjadi limbah mikroplastik yang mencemari laut. Bahkan saat dicuci, serat-serat halus terlepas ke saluran air dan masuk ke rantai makanan manusia.
Sementara itu, hanya kurang dari 1% pakaian yang didaur ulang menjadi produk serupa. Sisanya menjadi limbah atau produk berkualitas rendah. Allen McArthur Foundation memperkirakan industri fesyen kehilangan lebih dari 100 miliar dolar per tahun karena rendahnya tingkat daur ulang ini.
Yang lebih mengejutkan, limbah fesyen dari negara-negara maju tidak berhenti di pembuangan lokal. Dengan dalih donasi atau ekspor barang bekas, pakaian-pakaian tersebut dikirim ke negara-negara berkembang di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Banyak di antaranya tidak layak pakai, rusak, atau kotor.
Di negara tujuan, seperti Kenya, Ghana, hingga Indonesia, bal-bal pakaian bekas diterima tanpa transparansi. Sebagian besar hanya memindahkan beban dari satu negara ke negara lain. Bahkan dalam kasus di Singapura, sepatu bekas yang dijanjikan akan didaur ulang ternyata dijual kembali secara ilegal ke Indonesia.
Skema ekspor ini sering disalahgunakan dengan memberi label palsu seperti "donasi kemanusiaan" atau "daur ulang", padahal isinya adalah limbah tekstil komersial. Negara penerima harus menanggung biaya pemrosesan, bahkan terkadang limbah tekstil non-pakaian juga ikut dimasukkan ke dalam kontainer.
Uni Eropa, misalnya, menggandakan ekspor tekstil bekas dari 550.000 ton pada 2000 menjadi hampir 1,7 juta ton pada 2019. Amerika Utara pun mencatat ekspor jutaan ton pakaian bekas tiap tahun.
Satu kaus bisa saja menempuh perjalanan panjang: dibuat di Bangladesh, dijual di Eropa, didonasikan di Belanda, diekspor ke Tanzania, dan berakhir di pasar kecil desa terpencil. Meski terdengar seperti daur ulang yang produktif, kenyataannya terdapat biaya sosial dan lingkungan yang tak sedikit.
Pakaian bekas memang menciptakan mata pencaharian, dari pengepul hingga penjual eceran. Di Kenya, jutaan orang menggantungkan hidup dari industri ini. Tapi di sisi lain, pasar lokal sulit bersaing, dan industri garmen domestik ikut terpuruk.
Selain itu, serpihan mikroplastik dari pakaian sintetis mencemari laut dan rantai makanan. Diperkirakan setengah juta ton mikroplastik dari pakaian masuk ke laut setiap tahun, setara dengan 35% pelepasan mikroplastik global. Dari ikan ke manusia, partikel ini bisa kembali ke meja makan kita.
Dampak dan Relevansi untuk Indonesia
Di Indonesia, sektor tekstil menghasilkan sekitar 1,8 juta ton limbah tekstil per tahun. Sekitar 60 hingga 70 persen di antaranya berasal dari fast fashion. Sementara itu, kemampuan pengolahan dan daur ulang masih sangat terbatas. Akibatnya, banyak limbah tekstil berakhir di TPA atau dibakar.
Pemerintah telah melarang impor pakaian bekas untuk melindungi industri dalam negeri. Namun, pakaian bekas tetap masuk secara ilegal. Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, mendorong pendekatan baru: alih-alih dimusnahkan, pakaian bekas impor sitaan sebaiknya didaur ulang menjadi bahan baku industri atau UMKM. Langkah ini diharapkan bisa menghemat biaya negara dan membuka peluang ekonomi baru.
Biaya pemusnahan satu kontainer pakaian bekas bisa mencapai Rp12 juta. Purbaya menilai, daur ulang adalah opsi yang lebih efisien dan ramah lingkungan. Koordinasi dengan sektor industri dan UMKM juga sedang digencarkan untuk mendayagunakan bahan baku alternatif dari sitaan pakaian bekas.
Namun tantangannya besar. Tanpa sistem yang kuat, Indonesia bisa menjadi korban skema ekspor limbah dari negara maju. Perlu transparansi dan pengawasan ketat agar upaya daur ulang tidak berubah menjadi pemindahan masalah semata.
Menemukan Solusi dalam Kearifan Nilai
Melihat kompleksitas persoalan ini, sudah waktunya dunia mengubah paradigma konsumsinya. Sebagai konsumen, membeli pakaian dengan bijak, merawat dan memakainya lebih lama bisa menjadi langkah awal sederhana namun berdampak besar.
Dalam konteks nilai-nilai Islam, krisis limbah tekstil ini mengingatkan pada pentingnya prinsip israf atau pemborosan yang dilarang dalam ajaran agama. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
اِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْٓا اِخْوَانَ الشَّيٰطِيْنِۗ وَكَانَ الشَّيْطٰنُ لِرَبِّهٖ كَفُوْرًا
innal-mubadzdzirîna kânû ikhwânasy-syayâthîn, wa kânasy-syaithânu lirabbihî kafûrâ
Artinya: Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya. (QS. Al-Isra: 27). Ayat ini menggarisbawahi bahwa konsumsi berlebihan, termasuk dalam urusan pakaian, adalah perbuatan yang dibenci.
Islam mengajarkan kesederhanaan, tanggung jawab terhadap lingkungan, serta amanah dalam menggunakan nikmat dunia. Maka menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan konsumsi menjadi keharusan moral dan spiritual.
Krisis ini bukan sekadar tentang pakaian, tetapi tentang bagaimana manusia menghargai sumber daya yang telah dianugerahkan. Sudah saatnya industri fesyen, pemerintah, dan masyarakat global meninjau ulang praktik dan kebiasaan yang selama ini dianggap wajar. Karena sejatinya, gaya hidup berkelanjutan adalah bentuk syukur dan kepedulian yang paling nyata. (Ugy/FM)
