Bayangkan Jika Bung Hatta, Bukan Soekarno, Menjadi Presiden Pertama Indonesia
Filsafat Muslim - Apa jadinya Republik Indonesia hari ini seandainya Mohammad Hatta yang akrab kita panggil Bung Hatta—yang menempati kursi presiden pertama, bukan Ir. Soekarno?
1. Dua Karakter, Dua Gaya Kepemimpinan
• Soekarno
- Mengusung kepemimpinan “dari rakyat, oleh rakyat,” piawai berorasi, dan membangun popularitas lewat ketokohan.
- Cenderung mengambil keputusan politik besar dengan cepat, sering kali berdasar naluri nasionalisme kolektif.
• Hatta
- Terbentuk dari tradisi diskusi, riset, dan logika politik ala Barat (ia sempat belajar di Nederland).
- Memprioritaskan perencanaan matang, keadilan, dan keterbukaan—termasuk transparansi ekonomi.
Mereka berdua pertama kali bertemu tahun 1932, setelah PNI dibubarkan. Di sinilah dua aliran pemikiran politik bersilangan: PNI Baru (pendekatan pendidikan massa ala Hatta) versus Partai Indonesia (semangat massa ala Soekarno). Meski berbeda, keduanya akhirnya bersatu demi kemerdekaan.
2. Jejak Bung Hatta di Balik Layar Kekuasaan
Selama sebelas tahun (1945–1956), Hatta menjadi Wakil Presiden di samping Soekarno. Ia mundur 1 Desember 1956, menilai kepemimpinan Soekarno makin terpusat dan egosentris. Keputusan ini menandai akhir sinergi keduanya, membuka jalan bagi “Demokrasi Terpimpin” dan Orde Lama yang lebih otoriter.
3. Alternatif Sejarah: Jalan Demokrasi dan Federalisme
Seandainya Bung Hatta naik tahta Presiden:
1. Demokrasi Terbuka, Bukan Terpimpin
Hatta sangat menekankan keadilan dan partisipasi, sehingga “Demokrasi Terpimpin” ala Soekarno kemungkinan besar tak pernah lahir.
2. Negara Federal, Bukan Kesatuan Mutlak
Terinspirasi Amerika Serikat dan model awal Uni Soviet, ia melihat federalisme sebagai cara meningkatkan otonomi daerah—mencegah pemberontakan seperti PRRI/Permesta.
3. Stabilitas Politik Tanpa Konfrontasi Besar
- Hubungan damai dengan Malaysia; tak lagi “Ganyang Malaysia.”
- Jauh dari pengaruh PKI, karena sejak mahasiswa di Belanda Hatta memang menolak komunisme.
4. Ekonomi Terencana Ketat
- Anggaran difokuskan pada infrastruktur dan sektor riil, bukan “politik mercusuar.”
- Pendekatan KMB: kedaulatan dulu, baru detail teknis—mewakili pola kebijakan kalkulatif.
4. Papua: Antara Imperialis dan Mandiri
Di mata Bung Hatta, penyerahan Papua kepada Indonesia adalah “imperialisme baru.” Ia justru mendukung kemerdekaan Papua di tangan rakyatnya sendiri, bahkan sempat menyarankan integrasi dengan Malaysia Timur atau Borneo Utara. Akibatnya:
- Papua kemungkinan besar tidak menjadi provinsi RI, kecuali lewat referendum merdeka.
- NKRI “Harga Mati” tidak sepaham dengan visi Hatta, menghadirkan debat besar tentang definisi kedaulatan.
5. Implikasi Sosial dan Militer
- Dwifungsi ABRI: Tanpa konflik internal besar, peran militer dalam politik mungkin tetap terbatas.
- Pancasila sebagai Ideologi Tunggal: Hatta akan mendukung keragaman politik, sehingga wacana ideologi tunggal bisa dipertanyakan.
- Oligarki: Meski tak hilang, kekuatan elite ekonomi-politik barangkali tak sepadu seperti era Orde Baru.
6. Warisan Persatuan dalam Perbedaan
Meskipun berbeda, Bung Hatta dan Soekarno mengajarkan satu hal besar: persatuan dalam keberagaman pendapat. Kesederhanaan Hatta—dari gaya berbusana hingga cara berpikir—seharusnya menjadi teladan bagi politisi masa kini.
“Perbedaan bukan penghalang untuk bersatu demi kebaikan bersama.”
Penutup: Wajah Indonesia yang Bergerak di Jalur Lain
Jika Bung Hatta yang terpilih sebagai presiden pertama, wajah Indonesia kini pasti sangat berbeda:
- Model pemerintahan federal dengan demokrasi terbuka
- Kebijakan ekonomi terukur yang mengutamakan rakyat
- Relasi internasional yang lebih damai
- Papua dalam status politik yang merdeka atau otonom
- Minimnya pengaruh militer dalam politik; keragaman ideologi tetap terjaga
Namun satu hal yang pasti tak berubah: jasa besar Mohammad Hatta dalam memperjuangkan kemerdekaan. Beliau dan Soekarno mengajarkan kita untuk selalu mendahulukan kepentingan bangsa di atas ego kepemimpinan. (Ugy/FM)