Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Anugerah yang Terancam: Ironi Kerusakan di Raja Ampat dan Gema Peringatan yang Terabaikan

 
Foto : Tambang nikel PT GAG Nikel di Pulau Gag, Distrik Waigeo Barat, Raja Ampat, Papua Barat Daya (Ugy/filsafatmuslim.com)

Filsafat Muslim - Di tengah gemerlap reputasinya sebagai surga keanekaragaman hayati laut dunia, Raja Ampat, Papua Barat Daya, kini menghadapi ancaman nyata. Bukan dari badai atau perubahan iklim global semata, melainkan dari aktivitas di daratannya. Temuan tim pengawas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada akhir Mei 2025 lalu menjadi lonceng peringatan keras: eksploitasi tambang nikel telah menimbulkan luka serius pada ekosistem yang rapuh ini, dari deforestasi hingga sedimentasi yang mengancam terumbu karang.

Kasus di Raja Ampat ini bukan sekadar berita lingkungan biasa. Ia adalah manifestasi nyata dari sebuah paradoks besar bangsa: sebuah negara dengan hutan tropis terluas ketiga di dunia, namun terus-menerus bergelut dengan laju kerusakannya. Lebih dari itu, kasus ini menjadi cermin dari terabaikannya peringatan-peringatan luhur, baik dari hukum negara maupun ajaran agama, tentang kewajiban suci menjaga alam.

Hutan: Aset Vital yang Terdefinisi Jelas

Untuk memahami skala kehilangan, kita harus terlebih dahulu mengerti apa yang dipertaruhkan. Hutan bukan sekadar kumpulan pohon. Secara definitif, Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 1999 menjabarkannya sebagai “suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.” Definisi ini menggarisbawahi kompleksitas hutan sebagai sebuah sistem kehidupan yang saling menopang.

Secara ekologis, hutan adalah rumah bagi jutaan spesies, regulator iklim, serta penyimpan air. Menurut data KLHK, Indonesia masih memiliki 125,76 juta hektare kawasan hutan, atau setara 62,97% dari total luas daratan. Ini adalah aset tak ternilai yang sayangnya terus menyusut akibat eksploitasi, seperti yang terjadi di Raja Ampat.

Peringatan Ilahi: Larangan Merusak Bumi

Dari perspektif spiritual dan moral, khususnya dalam ajaran Islam, perusakan lingkungan adalah tindakan yang dilarang keras. Al-Qur'an secara tegas mengingatkan manusia akan perannya sebagai khalifah atau penjaga di muka bumi. Peringatan ini tertuang jelas dalam firman Allah SWT:

Selain itu, juga dikuatkan dalam ayat lain, Surat Al-Baqarah ayat 11:

 وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِۙ قَالُوْٓا اِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُوْنَ 

Artinya: Apabila dikatakan kepada mereka, janganlah berbuat kerusakan di bumi, mereka menjawab, sesungguhnya kami hanyalah orang-orang yang melakukan perbaikan (QS Al Baqarah: 11). 

Juga dalam Surat Al-Baqarah ayat 12:

 اَلَآ اِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُوْنَ وَلٰكِنْ لَّا يَشْعُرُوْنَ

 Artinya: Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari (QS Al Baqarah: 12).

Ayat ini merupakan sebuah imperatif moral yang universal. "Kerusakan di bumi" (fasad fil ardh) mencakup segala tindakan yang mengganggu keseimbangan alam, termasuk deforestasi, pencemaran, dan eksploitasi yang tak terkendali.

Ironisnya, Al-Qur'an juga menyinggung tentang mereka yang merusak namun berdalih melakukan perbaikan, sebuah sindiran tajam yang sangat relevan dengan kondisi saat ini:

وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ 

Artinya: Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik (QS Al-A’raf: 56).

Ayat ini seolah menjadi komentar langsung atas kasus-kasus seperti di Raja Ampat, di mana klaim pembangunan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja seringkali menutupi dampak destruktif yang terjadi.

Studi Kasus Raja Ampat: Ketika Peringatan Menjadi Kenyataan

Laporan Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, pada 8 Juni 2025, melukiskan gambaran yang suram dan menjadi bukti nyata dari pelanggaran prinsip-prinsip di atas.

1. Sedimentasi Mematikan: Di area operasi PT Anugerah Surya Pratama (PT ASP), jebolnya kolam pengendapan (settling pond) menyebabkan sedimentasi tinggi yang membuat perairan pesisir menjadi keruh. Ini adalah ancaman langsung bagi ekosistem terumbu karang Raja Ampat yang menjadi rumah bagi 75% jenis karang dunia. Ini adalah bentuk nyata "berkurangnya beragam organisme" akibat ulah manusia.

2. Deforestasi Melampaui Batas: PT Kawei Sejahtera Mining (PT KSM) terindikasi membabat hutan lebih dari 5 hektare yang diizinkan dalam Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Akibatnya, Pulau Kawei dilaporkan semakin gundul. Ini adalah contoh deforestasi yang disengaja dan melanggar aturan.

3. Operasi Ilegal Tanpa Izin: Pelanggaran paling fatal dilakukan oleh PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) yang ditemukan melakukan 10 titik pengeboran tanpa memiliki Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH). Menurut Menteri Hanif, perusahaan ini hanya bermodal Izin Usaha Pertambangan (IUP) tanpa memiliki izin lingkungan. Ini adalah cerminan sempurna dari tindakan "berbuat kerusakan" yang dilakukan secara sadar dan mengabaikan hukum negara.

Tindakan pemerintah membekukan sementara operasi keempat perusahaan tersebut adalah langkah awal yang patut diapresiasi, sejalan dengan prinsip "memberi sanksi tegas bagi perusak."

Jalan ke Depan: Dari Peringatan Menuju Aksi Nyata

Kasus Raja Ampat adalah panggilan untuk bertindak. Ia menunjukkan bahwa regulasi yang kuat dan pengawasan yang ketat adalah mutlak. Namun, lebih dari itu, diperlukan perubahan paradigma. Pelestarian lingkungan tidak bisa lagi dianggap sebagai penghambat pembangunan, melainkan sebagai fondasi pembangunan berkelanjutan.

Jalan keluarnya sudah terbentang, sebagaimana dirangkum dalam 10 langkah pelestarian:

1. Melakukan reboisasi secara masif.

2. Menerapkan sistem tebang pilih dan tebang-tanam.

3. Melakukan penebangan secara konservatif.

4. Memberi sanksi hukum yang berat bagi pelaku pembalakan liar dan perusak lingkungan.

5. Mengedukasi masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan.

6. Melakukan perlindungan dan pemulihan habitat.

7. Menghentikan vandalisme seperti mencoret-coret pohon.

8. Mengurangi penggunaan kertas untuk menekan permintaan industri kayu.

9. Melakukan pencegahan kebakaran hutan secara proaktif.

10. Mendorong penegakan hukum lingkungan tanpa kompromi.

Pada akhirnya, nasib hutan Indonesia, dari belantara Kalimantan hingga pulau-pulau di Raja Ampat, berada di tangan kita. Kasus ini harus menjadi momentum untuk merenung: apakah kita akan terus menjadi generasi yang disebut dalam Al-Qur'an sebagai perusak yang tidak menyadari, atau kita akan bangkit untuk memenuhi amanah sebagai penjaga bumi, melestarikan anugerah Tuhan untuk generasi yang akan datang. (Ugy/FM)