Monolog dari Alam Kubur: Saat Jabatan Luruh dan Amal Menjadi Satu-Satunya Pembela
Bayangkan sebuah dialog paling mengerikan yang pernah ada. Bukan di ruang pengadilan dunia, tetapi di sebuah ruang sempit, gelap, dan sunyi di perut bumi. Sebuah ruh yang baru saja terpisah dari jasadnya ditanya oleh sosok mengerikan, “Siapa kamu?” Dengan gemetar, ruh itu bertanya balik. Jawabannya datang menusuk: “Akulah shalatmu yang selama ini kau remehkan. Aku diperintahkan Allah untuk menyiksamu hingga hari Kiamat tiba.”
Ini bukan sekadar dongeng pengantar tidur, melainkan sebuah tamsil, sebuah perumpamaan tajam dari ajaran agama tentang apa yang menanti kita setelah nafas terakhir diembuskan. Ia adalah pengingat keras bahwa di alam barzakh, alam penantian itu, semua topeng dunia akan luruh. Jabatan, kekuasaan, kekayaan, dan pengikut setia—semua lenyap tak berbekas. Yang tersisa hanyalah kita, sendirian, berhadapan dengan wujud asli dari amal perbuatan kita.
Perantauan Tanpa Tiket Pulang
Kehidupan di dunia seringkali diibaratkan sebagai sebuah perantauan. Seseorang bisa saja pergi ke tanah seberang untuk mencari nafkah. Jika ia gagal, menderita, dan tak menemukan apa yang dicari, ia masih punya satu pilihan pamungkas: pulang ke kampung halaman, kembali ke titik awal.
Namun, kematian adalah perantauan tanpa tiket pulang.
Begitu kaki kita melangkah melewati gerbang sakaratul maut dan jasad kita dibaringkan di liang lahad, tidak ada lagi istilah "kembali". Suka atau tidak, nyaman atau tersiksa, itulah rumah abadi kita sampai sangkakala Kiamat ditiup. Berapa lama? Bisa ratusan, bahkan ribuan tahun. Selama itu, kita hanya ditemani oleh satu hal: amal.
Jika amal itu adalah kebaikan, ia akan menjadi teman yang menenangkan dalam penantian yang panjang. Namun jika ia adalah kezaliman, pengkhianatan, dan ibadah yang terabaikan, ia akan menjelma menjadi siksa yang tak terperi.
Peringatan Keras bagi Pemegang Kuasa
Pesan ini menukik tajam kepada siapa saja yang hari ini memegang amanah dan kekuasaan. Wahai para pejabat, aparat, penegak hukum, dan pemimpin. Anda mungkin bisa menyalahgunakan jabatanmu di dunia. Anda bisa memanipulasi hukum, mengkhianati kepercayaan rakyat, dan membangun istana kemewahan dari penderitaan orang lain. Anda bisa lolos dari pengadilan dunia dengan jejaring dan kekuatanmu.
Tapi demi Allah, Anda tidak akan pernah lolos dari pengadilan di alam kubur.
Begitu malaikat maut menjemput, tidak ada satu pun pasukan, ajudan, atau pengacara yang bisa membela. Kekuasaan yang dulu tak terbatas menjadi tak berarti. Senjata yang kau banggakan tak mampu menembus kesunyian kubur. Semua yang kau kumpulkan dengan menghalalkan segala cara, kau tinggalkan untuk diperebutkan oleh ahli warismu.
Lihatlah sejarah. Betapa adidaya seorang Firaun dengan kekuasaan dan harta tanpa batas? Di mana Adolf Hitler dengan kekuasaannya yang mengguncang dunia? Mereka semua berakhir sama: mati, lalu mempertanggungjawabkan semuanya sendirian. Maka, bagi rakyat yang dizalimi, yang dipertontonkan ketidakadilan, peganglah keyakinan ini: setiap perbuatan akan ada balasannya. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, "Lakukanlah apa yang engkau kehendaki, tapi ingat, sesungguhnya engkau akan mati."
Satu-satunya Teman Setia
Tiga hal akan mengantarkan jenazah ke pemakaman: hartanya, keluarganya, dan amalnya. Dua akan kembali pulang, dan hanya satu yang setia menemani. Harta akan berpindah tangan. Keluarga akan menangis sesaat, mengirim ucapan duka di grup WhatsApp, lalu melanjutkan hidup. Istri atau suami mungkin akan menikah lagi. Namamu pun berubah dari panggilan kehormatan menjadi sekadar "Almarhum/Almarhumah".
Pada saat itulah, di tengah kegelapan pekat yang abadi—jauh lebih menakutkan dari mati lampu di rumah—satu-satunya penerang adalah amal kebaikan. Shalat, sedekah, kejujuran, dan setiap kebaikan yang pernah kita lakukan akan menjadi cahaya dan perisai. Sebaliknya, setiap dosa akan menjadi belenggu dan sumber siksa.
Perut yang dulu kita isi dengan segala cara, akan membengkak dan menjadi santapan pertama cacing tanah. Wajah yang kita poles dengan biaya mahal, akan hancur lebur di dalam tanah. Tak ada yang tersisa dari fisik kita.
Sebelum Semuanya Terlambat
Artikel ini bukanlah untuk menakut-nakuti, melainkan untuk membangunkan jiwa yang mungkin tertidur lelap oleh buaian dunia. Mumpung nafas masih berhembus, mumpung kesempatan untuk bertaubat masih terbuka, mari kita bertanya pada diri sendiri: bekal apa yang sedang kita siapkan untuk perjalanan abadi ini? Teman seperti apa yang sedang kita bentuk melalui perbuatan kita sehari-hari?
Karena pada akhirnya, semua akan kembali pada firman-Nya yang pasti:
كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِ
"Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati." (QS. Ali 'Imran: 185)
Dan ketika saat itu tiba, tidak ada penundaan sedetik pun. Satu-satunya yang kita bawa adalah amal, yang akan menjadi saksi paling jujur atas bagaimana kita menjalani hidup yang singkat ini. (Ugy/FM)