Polemik KUHAP Baru: Antara Pembaruan Hukum dan Kekhawatiran Publik
Filsafat Muslim - Pengesahan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru pada 18 November 2025 menjadi salah satu peristiwa hukum paling penting sekaligus paling diperdebatkan tahun ini. Di satu sisi, regulasi ini digadang-gadang sebagai pembaruan menyeluruh terhadap KUHAP lama yang sudah berusia lebih dari empat dekade. Di sisi lain, proses penyusunan dan sejumlah pasal krusialnya memicu kekhawatiran luas terkait perlindungan hak warga negara dan kualitas demokrasi di Indonesia.
Apa Itu KUHAP dan Mengapa Perlu Diperbarui?
Secara sederhana, KUHAP adalah “buku panduan” negara tentang bagaimana aparat penegak hukum boleh dan tidak boleh memperlakukan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana atau sedang menjalani proses hukum pidana.
Jika Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur perbuatan apa saja yang dikategorikan sebagai tindak pidana, KUHAP mengatur tata cara penegak hukum menjalankan proses pidana tersebut: bagaimana penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penahanan, penyitaan, hingga proses persidangan dijalankan secara sah dan adil.
KUHAP lama ditetapkan pada 1981 dan mulai berlaku 1982. Artinya, ketika akhirnya direvisi pada 2025, umur regulasi ini sudah sekitar 43 tahun. Dalam rentang waktu sepanjang itu, lanskap kejahatan, teknologi, komunikasi, hingga sistem peradilan berubah sangat jauh, sementara KUHAP lama tidak lagi cukup memadai untuk menjawab berbagai perkembangan baru.
Di saat bersamaan, Indonesia juga sudah memiliki KUHP baru yang akan berlaku penuh mulai 2 Januari 2026. Pembaruan KUHAP diposisikan sebagai pasangan yang harus mampu mengimbangi perubahan besar dalam hukum pidana materiil tersebut.
Secara konsep, gagasan untuk memperbarui KUHAP sesungguhnya mendapat banyak dukungan. Pembaruan prosedur pidana dinilai penting untuk memperkuat perlindungan hak warga negara, memperjelas batas kewenangan aparat, dan menyesuaikan aturan dengan tantangan era digital. Masalahnya, sebagaimana sejumlah kebijakan lain, kualitas ide sering kali diuji pada tahap implementasi dan perumusan norma konkret di dalam undang-undang.
Proses Pembahasan: Dinamis, Cepat, dan Dianggap Kurang Transparan
Sejak masuk dalam daftar prioritas Program Legislasi Nasional 2025, RUU KUHAP dibahas intensif di Komisi III DPR RI. Naskah akademik dan draf awal diunggah ke laman resmi DPR, rapat-rapat dengar pendapat umum digelar, dan pemerintah bersama DPR berulang kali menyebut bahwa proses ini mengedepankan asas partisipasi publik yang bermakna.
Namun, di lapangan, sejumlah organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan lembaga bantuan hukum menilai prosesnya jauh dari ideal. Salah satu sorotan utama adalah perubahan draf yang dinilai sangat dinamis dalam waktu singkat.
Laporan koalisi masyarakat sipil mencatat bahwa draf RUU KUHAP mengalami perubahan substansi penting sekitar 13 November 2025, kemudian kembali mengalami revisi hingga muncul draf yang akhirnya dibawa ke Rapat Paripurna pada 18 November 2025.
Kritik makin menguat karena draf final disebut baru diunggah secara resmi mendekati waktu pengesahan. Situasi ini menyulitkan publik untuk mengikuti secara utuh perubahan pasal per pasal, dan memperbesar potensi kesalahpahaman: kritik bisa saja disusun berdasarkan draf yang ternyata bukan versi terakhir.
Ketegangan makin terasa ketika kritik publik atas sejumlah pasal kemudian dijawab dengan tuduhan “hoaks” oleh sebagian pihak di parlemen, sebelum akhirnya pernyataan tersebut dikoreksi dan dilunakkan.
Di era algoritma media sosial yang tidak selalu menampilkan informasi secara kronologis, informasi dari draf lama bisa kembali beredar seolah-olah baru. Konten yang dipublikasikan sepekan sebelumnya dapat muncul di linimasa publik setelah draf sudah berubah. Dalam konteks seperti ini, label “hoaks” menjadi problematis jika tidak disertai penjelasan rinci tentang versi naskah yang dijadikan rujukan.
Koalisi masyarakat sipil bahkan menyebut terjadi “manipulasi partisipasi bermakna” dan pencatutan nama sejumlah pihak yang merasa tidak pernah terlibat secara substantif, tetapi disebut seolah ikut menyetujui rancangan KUHAP
Empat Isu Krusial: Penyadapan, Penangkapan, Penyitaan, dan Pemblokiran
Dari ratusan pasal yang tersebar dalam 156 halaman naskah KUHAP baru, setidaknya ada empat klaster isu yang paling banyak dibicarakan di ruang publik: kewenangan penyadapan, penangkapan, penyitaan, dan pemblokiran. Keempatnya menyentuh langsung hak paling fundamental warga negara, seperti kebebasan dari penahanan sewenang-wenang dan hak atas privasi.
1. Penyadapan dan Kekosongan Aturan Turunan
KUHAP baru memuat definisi dan pengaturan mengenai penyadapan, antara lain dalam ketentuan umum dan pasal mengenai tindakan penyidikan. Secara prinsip, penyadapan diakui sebagai alat untuk mengungkap tindak pidana tertentu, namun sekaligus menyentuh ranah privasi dan komunikasi paling intim seseorang.
Dalam naskah yang disahkan, diatur bahwa tata cara penyadapan akan diatur lebih lanjut dalam undang-undang tersendiri. Di tingkat konsep, pengaturan khusus memang dapat dipahami sebagai upaya memperkuat kontrol dan memperjelas batasan. Namun, di sinilah muncul pertanyaan besar: bagaimana posisi kewenangan penyadapan sebelum undang-undang khusus itu lahir?
Sejumlah pengamat hukum pidana menggarisbawahi risiko terjadinya “kekosongan pengaturan” sementara kewenangan penyadapan sudah disebut dalam KUHAP. Jika tindakan penyadapan dilakukan tanpa panduan rinci dari undang-undang turunan, timbul kekhawatiran bahwa aparat bergerak dengan dasar yang kurang kuat, padahal konsekuensinya menyangkut hak privasi dan kemungkinan penyalahgunaan kewenangan.
Pertanyaan yang mengemuka cukup sederhana, tetapi penting: apakah penyadapan boleh dilakukan hanya dengan rujukan pasal umum di KUHAP baru, ketika aturan teknisnya belum tersedia? Sampai saat ini, belum ada penjelasan yang benar-benar menjawab secara tuntas kekhawatiran tersebut di mata publik.
2. Penangkapan dan Syarat Dua Alat Bukti
Isu kedua adalah soal kewenangan penangkapan. Sejumlah pasal di KUHAP baru memberikan kewenangan kepada penyelidik dan penyidik untuk melakukan penangkapan demi kepentingan penyidikan. Rumusan yang relatif ringkas ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi penangkapan terhadap seseorang yang statusnya belum jelas benar sebagai tersangka.
Namun, jika menengok lebih jauh ke pasal berikutnya, diatur pula bahwa penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti. Rumusan ini penting, karena menegaskan bahwa dugaan tidak boleh berdiri di ruang kosong, tetapi harus didukung oleh standar minimum pembuktian.
Perbedaan antara “alat bukti” dan “barang bukti” juga krusial. Alat bukti bisa berupa keterangan saksi, dokumen, rekaman, maupun bentuk lain yang sah menurut hukum acara, tidak selalu benda fisik. Artinya, KUHAP baru tetap mensyaratkan adanya dasar objektif sebelum penangkapan dilakukan.
Secara normatif, apabila seseorang ditangkap tanpa terpenuhi syarat minimal dua alat bukti tersebut, ada ruang untuk menggugat dan mempersoalkan keabsahan tindakan tersebut. Namun, sebagaimana banyak regulasi lain, tantangan terbesarnya justru berada di wilayah implementasi: seberapa kuat mekanisme kontrol internal dan eksternal untuk memastikan aparat tidak menggunakan pasal penangkapan secara sewenang-wenang.
3. Penyitaan dan Pemblokiran: Izin Pengadilan dan “Keadaan Mendesak”
Isu ketiga dan keempat berkaitan dengan penyitaan dan pemblokiran, termasuk pemblokiran rekening maupun akses terhadap sistem elektronik.
Dalam naskah KUHAP baru, secara umum ditegaskan bahwa tindakan penyitaan dan pemblokiran tidak boleh dilakukan secara sepihak oleh penyidik. Aparat diwajibkan memperoleh izin dari ketua pengadilan negeri sebelum melaksanakan tindakan tersebut. Di atas kertas, ketentuan ini dapat dipandang sebagai bentuk check and balance, karena menghadirkan kontrol dari lembaga peradilan.
Namun, pasal-pasal yang sama juga memuat pengecualian dalam situasi “keadaan mendesak”. Di sinilah publik kembali menemukan celah kekhawatiran. Beberapa contoh keadaan mendesak memang disebutkan, seperti adanya risiko kuat barang bukti dialihkan, tindak pidana yang berlangsung melalui transaksi elektronik yang cepat, atau hambatan geografis yang membuat koordinasi dengan pengadilan tidak mungkin dilakukan segera.
Masalah muncul ketika ditambahkan frasa yang kurang lebih memberi ruang pada “situasi berdasarkan penilaian penyidik” untuk dikategorikan sebagai keadaan mendesak. Formulasi seperti ini dinilai membuka potensi pasal karet, karena standar “penilaian” tidak dirumuskan secara rinci.
Tanpa indikator yang jelas, penilaian penyidik bisa menjadi sangat subjektif. Risiko yang dikhawatirkan adalah situasi di mana tindakan penyitaan atau pemblokiran dijalankan terlebih dahulu, sementara mekanisme kontrol baru menyusul, atau bahkan tidak berjalan efektif karena dianggap sudah “diabsahkan” oleh klaim keadaan mendesak versi aparat.
4. Distorsi Informasi dan Tuduhan Hoaks di Era Algoritma
Di luar substansi pasal, perdebatan tentang KUHAP baru juga menunjukkan persoalan lain: bagaimana publik mengakses dan mencerna informasi hukum di era media sosial.
Perubahan draf yang cepat, keterlambatan publikasi draf final, serta cara algoritma media sosial menampilkan konten yang tidak selalu sesuai urutan waktu membuat banyak orang bisa saja mengkritik pasal yang sudah diubah, tanpa menyadarinya. Di sisi lain, pernyataan pejabat yang buru-buru menyebut kritik sebagai hoaks berisiko mempersempit ruang diskusi dan menimbulkan kesan bahwa perbedaan pandangan tidak ditoleransi.
Dalam iklim demokrasi, perbedaan tafsir atas norma hukum adalah hal yang wajar. Ketika regulasi kompleks seperti KUHAP baru disahkan, wajar bila muncul kecurigaan, pertanyaan, dan kritik dari masyarakat sipil, akademisi, serta praktisi hukum. Yang dibutuhkan bukan sekadar bantahan singkat, melainkan penjelasan terbuka, rinci, dan berbasis naskah resmi agar publik dapat menilai dengan informasi yang utuh.
Jalur Koreksi: Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi
Seiring menguatnya kritik, sejumlah organisasi masyarakat sipil mendorong agar KUHAP baru diuji secara konstitusional di Mahkamah Konstitusi (MK), baik dari aspek formil maupun materiil.
Dari sisi formil, sorotan diarahkan pada proses pembahasan yang dinilai tidak sepenuhnya transparan, perubahan draf di menit-menit akhir, serta dugaan pencatutan nama pihak-pihak yang merasa tidak pernah dilibatkan secara layak.
Dari sisi materiil, gugatan diperkirakan menyasar pasal-pasal yang dianggap membuka peluang pelanggaran hak konstitusional warga negara, seperti hak atas rasa aman, hak atas kepastian hukum yang adil, hak atas privasi, serta hak untuk bebas dari penangkapan dan penahanan sewenang-wenang.
Secara historis, judicial review ke MK telah menjadi salah satu kanal yang cukup efektif untuk mengoreksi undang-undang yang dianggap bermasalah atau mengandung pasal multitafsir. Sejumlah regulasi strategis sebelumnya mengalami perubahan maupun pembatalan sebagian melalui putusan MK, setelah diuji oleh warga negara, organisasi masyarakat sipil, maupun lembaga negara lainnya.
Dalam konteks KUHAP baru, judicial review dipandang sebagai langkah konstitusional yang paling realistis untuk menimbang ulang pasal-pasal krusial tanpa harus menunggu dampak negatifnya benar-benar terjadi di lapangan.
Pentingnya Membaca Naskah, Bukan Hanya Poster dan Potongan Konten
Di tengah derasnya arus informasi, perdebatan mengenai KUHAP baru sering kali muncul dalam bentuk poster, infografis, atau potongan video pendek di media sosial. Format ini membantu menarik perhatian dan menyederhanakan isu yang kompleks, tetapi memiliki risiko mereduksi detail dan konteks.
Karena itu, salah satu langkah penting yang dapat dilakukan publik adalah mulai merujuk langsung pada naskah resmi KUHAP yang sudah disahkan. Draf final yang menjadi rujukan pengesahan pada 18 November 2025 sudah dapat diakses melalui kanal-kanal resmi pemerintah dan DPR.
Dengan membaca pasal demi pasal, pembaca dapat:
- Memastikan apakah pasal yang dikritik memang tertulis seperti yang beredar di poster atau thread media sosial.
- Melihat pasal lain yang saling terkait, sehingga memahami konteks lebih utuh.
- Membedakan antara kekhawatiran yang bersumber dari draf lama dengan kritik yang relevan terhadap naskah yang sudah disahkan.
Setelah itu, pendapat para pakar hukum pidana, organisasi bantuan hukum, dan lembaga negara dapat menjadi referensi tambahan. Yang tidak kalah penting, sikap kritis sebaiknya tidak berhenti pada menerima satu sumber saja, melainkan diikuti kebiasaan melakukan perbandingan dan verifikasi ulang.
Penutup: Pembaruan Hukum Harus Berjalan Seiring Penguatan Hak Warga
Pengesahan KUHAP baru menandai babak penting dalam reformasi hukum pidana Indonesia. Tujuannya tidak kecil: memperbarui kerangka hukum acara pidana agar lebih relevan dengan tantangan zaman, sekaligus memperkuat perlindungan hak warga negara dalam proses penegakan hukum.
Namun, cara regulasi ini disusun dan dikomunikasikan kepada publik menunjukkan bahwa pekerjaan rumah masih panjang. Proses legislatif yang dinilai tergesa-gesa, perubahan draf di menit akhir, serta minimnya penjelasan rinci kepada masyarakat membuat kepercayaan publik goyah, bahkan sebelum regulasi ini resmi berlaku.
Kedepan, ada beberapa hal yang dapat menjadi catatan bersama:
- Pemerintah dan DPR perlu menjelaskan secara terbuka pasal-pasal krusial seperti penyadapan, penangkapan, penyitaan, dan pemblokiran, termasuk rencana pembentukan aturan turunan yang menjamin perlindungan hak asasi.
- Mekanisme partisipasi publik harus dibenahi, agar benar-benar bermakna, bukan sekadar formalitas yang kemudian dijadikan legitimasi simbolik.
- Jalur judicial review ke Mahkamah Konstitusi tetap terbuka bagi pihak-pihak yang merasa hak konstitusionalnya terancam, dan langkah ini layak dipantau bersama sebagai bagian dari dinamika demokrasi.
- Masyarakat perlu terus membiasakan diri membaca naskah resmi, berpikir kritis, dan memeriksa ulang informasi yang beredar di media sosial sebelum menarik kesimpulan.
Pada akhirnya, inti dari hukum acara pidana adalah keseimbangan: bagaimana negara diberi kewenangan untuk menindak pelaku kejahatan, tetapi pada saat yang sama, setiap warga negara tetap terlindungi dari tindakan sewenang-wenang. KUHAP baru akan benar-benar diuji bukan hanya di teks undang-undang, melainkan di ruang praktik, di ruang pengadilan, dan di keseharian masyarakat yang hak-haknya dijanjikan oleh regulasi tersebut. (Ugy/FM)
