Urgensi dan Dampak Diterbitkannya Izin Tambang Bagi Ormas Keagamaan, Lalu Bagaimana Solusi Yang Benar Menurut Islam ?
![]() |
Ilustrasi : Asset by Freepik (KSU/Fachrul Rozi) |
Pada umumnya, setiap pemerintah membuat kebijakan selalu menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Dalam PP tersebut, terdapat pasal 83A ayat (1) yang menyebutkan bahwa dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada BU yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan. Dalam hal ini, WIUPK diberikan kepada Badan Usaha (BU) yang dimiliki ormas keagamaan bertujuan untuk pemberdayaan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat anggota Ormas, dengan catatan bahwa BU apapun yang dimiliki ormas tetap harus memenuhi kriteria/persyaratan terlebih dahulu sebelum mendapatkan WIUPK. Ormas keagamaan juga hanya bisa mendapatkan izin konsesi untuk komoditas batubara di wilayah eks perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B). Melalui kebijakan tersebut, ormas keagamaan diharapkan dapat mendukung kepastian investasi sub sektor pertambangan dan pelaksanaan program hilirisasi nasional.
Apakah faktor penyebab diterbitkannya PP 25 Tahun 2024 ?
Pada PP Nomor 25 Tahun 2024 Pasal 83A, dijelaskan bahwa pemerintah akan memberikan penawaran WIUPK eks PKP2B secara khusus kepada BU yang dimiliki ormas keagamaan. Kepemilikan saham organisasi keagamaan dalam BU harus mayoritas dan jadi pengendali, serta IUPK pada BU tersebut tidak dapat dipindahtangankan atau dialihkan tanpa persetujuan menteri. Bahkan BU juga dilarang bekerjasama dengan pemegang PKP2B sebelumnya. Dilihat dari siaran pers dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI, bahwa peraturan tersebut dibuat dengan tujuan untuk meningkatkan kepastian investasi dan kesejahteraan masyarakat di bidang sub sektor pertambangan serta pelaksanaan program hilirisasi nasional. Akan tetapi, penulis berpendapat bahwa pembuatan kebijakan publik tersebut memiliki beberapa alasan urgensi. Berikut faktor yang mempengaruhi diterbitkannya PP tersebut, antara lain :
- Upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mengelola sektor pertambangan secara langsung melalui ormas keagamaan. Dalam hal ini, ormas keagamaan memiliki pengalaman dalam pengelolaan usaha, walaupun belum mengetahui tata cara pengelolaan tambang.
- Ormas keagamaan sering terikat erat dengan tugas dan fungsi pemerintah, yaitu melindungi, mencerdaskan dan mensejahterakan masyarakat. Dengan adanya sumber pendapatan baru melalui sektor pertambangan, maka kesejahteraan dan cita-cita bangsa lebih mudah tercapai.
- Mengurangi upaya permintaan proposal ketika menggelar suatu kegiatan maupun pemberian dana hibah bagi ormas keagamaan, dengan memberikan mereka peluang melalui pengelolaan sektor pertambangan. Kemudian, dana yang biasa dihibahkan kepada ormas keagamaan dapat dianggarkan ke program bermanfaat lainnya.
- Adanya alasan politik hubungan timbal balik, dimana sebagaian besar ormas keagamaan di Indonesia, khususnya dari Nahdlatul Ulama (NU) terlibat mendukung Paslon 02 Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming pada Pilpres 2024.
Dampak Negatif yang dapat terjadi akibat PP tersebut
Pada umumnya, setiap kebijakan pemerintah selalu menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat, khususnya terkait dampak positif dan negatif yang akan ditimbulkan. Dalam hal ini, penulis mengalanisa beberapa potensi dampak negatif yang akan ditimbulkan setelah diterbitkannya PP Nomor 25 Tahun 2024 Pasal 83A Ayat (1), antara lain :
Permasalahan tumpang tindih antara UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dengan PP Nomor 25 Tahun 2024 Pasal 83A Ayat (1). Dalam UU tersebut, dijelaskan bahwa Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) diprioritaskan kepada BUMN dan BUMD. Kemudian, apabila BUMN dan BUMD tersebut tidak berminat, maka penawaran diberikan kepada swasta melalui proses lelang. Hal ini bertentangan dengan PP Nomor 25 Tahun 2024 Pasal 83A Ayat (1), dimana ormas keagamaan tidak termasuk dalam swasta dan tidak berhak menerima penawaran prioritas.
Pemerintah Pusat dinilai membuat regulasi baru, namun mengabaikan regulasi yang sudah ada. Perubahan regulasi tersebut membuat langkah yang diambil tidak sesuai dengan undang-undang. Mengacu pada Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, bahwa tingkatan peraturan undang-undang, yaitu (1) UUD 1945, (2) Ketetapan MPRS, (3) Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, (4) Peraturan Pemerintah, (5) Keputusan Presiden, (6) Peraturan-Peraturan Pelaksananya, seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan lain-lainnya. Dalam hal ini, PP Nomor 25 Tahun 2024 berada dibawah tingkatan dari UU Nomor 3 Tahun 2020. Mengacu pada aturan tersebut, seharusnya pemberian prioritas pengelolaan tambang bagi ormas beragama tidak berlaku dan diserahkan kembali kepada BUMN, BUMD dan swasta dengan sistem lelang.
Kedepannya, dengan adanya tumpang tindih peraturan antara UU Nomor 3 Tahun 2020 dan PP Nomor 25 Tahun 2024, mengakibatkan konflik dalam penentuan perizinan pengelolaan tambang dengan masuknya ormas keagamaan dalam prioritas penawaran lelang di luar swasta. Tidak menutup kemungkinan juga akan muncul ormas lainnya (di luar keagamaan) yang ingin memiliki sumber pendanaan yang sama. Mereka menuntut dengan alasan memiliki kemampuan dan hak yang sama dengan ormas keagamaan, sehingga akan berpotensi terjadinya aksi unjuk rasa maupun aksi premanisme.
Ormas keagamaan memang memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam menjalankan usaha, seperti kepengurusan amil zakat, pengelolaan rumah sakit, bidang pendidikan, penerbitan izin halal, maupun usaha lainnya. Namun, mereka belum ada yang memiliki keahlian di bidang pengelolaan tambang, sehingga sulit untuk diberikan IUP/IUPK yang mensyaratkan kemampuan teknologi, SDM, keuangan, pengelolaan lingkuan, masalah sosial dan lainnya. Nantinya dapat dipastikan bahwa pengelolaan tersebut akan dialihkan kepada pengusaha atau sayap-sayap organisasinya yang ahli dibidang tersebut, serta berpotensi terjadinya penguasaan secara langsung maupun tidak langsung oleh kelompok tersebut. Apabila perizinan bagi ormas keagamaan kembali diserahkan kepada pihak ketiga, maka diterbitkannya PP Nomor 25 Tahun 2024 Pasal 83A ayat (1) tidak merubah faktor apapun.
Munculnya potensi konflik vertikal antara ormas keagamaan dengan masyarakat adat sekitar wilayah tambang. Berdasarkan data dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) melalui citra satelit, bahwa terdapat 3.033 lubang bekas tambang yang tersebar di Indonesia dan 1.735 lubang tambang batubara berada di Kalimantan Timur. Dengan adanya penawaran Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) secara prioritas kepada ormas keagamaan, maka dapat memicu potensi konflik dengan masyarakat lingkar tambang yang mengarah ke konflik SARA (Suku, Agama, Ras, Antar Golongan), contohnya apabila ormas keagamaan yang mengelola tambang tersebut merupakan ormas islam, sedangkan masyarakat adat di sekitar lokasi tambang beragama nasrani, maka isu konflik dapat berkembang ke ranah konflik agama. Selain itu, ormas keagamaan dinilai hanya akan digunakan kelompok kepentingan sebagai alat perusahaan untuk melawan masyarakat. Dapat diketahui bahwa dalam pembukaan lahan penambangan sering terjadi konflik antara pihak perusahaan dengan kelompok masyarakat adat dan ormas kesukuan lainnya, dengan alasan untuk mempertahankan tanah yang telah lama didiami. Hadirnya keikutsertaan ormas beragama dalam pengelolaan tambang dapat menjadi alat perusahaan untuk membenturkan mereka dengan masyarakat adat
Pengelolaan Tambang Sesuai Syariah
Pemerintah Indonesia telah menerbitkan PP Nomor 25 Tahun 2024 dimana memberikan izin pengelolaan tambang bagi ormas beragama. Menurut islam, pengelolaan tambang diperbolehkan namun mengacu pada aturan hukum syariah islam. Selama penggunaan aturan berdasarkan hukum demokrasi, maka akan menimbulkan kerusakan dan peluang korupsi. Contoh kecilnya dalam pembuatan aturan, PP yang baru disahkan tersebut ternyata berlawanan dengan UU Nomor 3 Tahun 2020.
Contoh lainnya, seperti kasus dugaan megakorupsi PT Timah senilai Rp 271 triliun. Sebelumnya, PT Pertamina, PT Antam, hingga PT PLN juga menjadi langganan kasus korupsi. Pelakunya mulai dari korporasi swasta hingga perorangan; menyeret pejabat teras kementerian hingga pimpinan tertinggi BUMN tambang, politisi dan kepala daerah.
Terkait tata kelola tambang yang karut-marut ini, KPK mengidentifikasi, dari sekitar 11.000 izin tambang di seluruh Indonesia, 3.772 izinnya bermasalah dan dicurigai terjadi korupsi yang melibatkan kepala daerah pemberi izin. Akibatnya, negara dirugikan hingga ratusan triliun rupiah (Kompas.id, 31/3/2024).
Padahal menurut Mantan Menko Polhukam Mahfud MD, mengutip pernyataan mantan Ketua KPK Abraham Samad, jika celah korupsi di bidang pertambangan bisa diatasi, setiap warga Indonesia bisa memperoleh Rp 20 juta per bulan. Abraham menilai pernyataannya itu merujuk pada analisis yang pernah dilakukan KPK 10 tahun lalu (News.detik.com, 21/3/2023).
Bagaimana aturan pengelolaan tambang tersebut dapat berjalan lancar apabila ada celah hukum yang tumpang tindih?
Pengelolaan tambang apapun dalam pandangan islam diperbolehkan asal digunakan untuk memenuhi hajat hidup orang banyak dan terkategori sebagai harta milik umum (milkiyyah ‘ammah). Dasarnya antara lain adalah Hadis Nabi saw. yang dituturkan oleh Abyadh bin Hammal RA. Disebutkan demikian:
أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ فَقَطَعَ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنْ الْمَجْلِسِ أَتَدْرِي مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ قَالَ فَانْتَزَعَهُ مِنْهُ
Sungguh dia (Abyadh bin Hammal) pernah datang kepada Rasulullah SAW. Dia lalu meminta kepada beliau konsensi atas tambang garam. Beliau lalu memberikan konsensi tambang garam itu kepada Abyadh. Namun, tatkala Abyadh telah berlalu, seseorang di majelis tersebut berkata kepada Rasulullah saw., “Tahukah Anda apa yang telah Anda berikan kepada Abyadh? Sungguh Anda telah memberi dia harta yang (jumlahnya) seperti air mengalir (sangat berlimpah).” (Mendengar itu) Rasulullah SAW. lalu menarik kembali pemberian konsesi atas tambang garam itu dari Abyadh (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Hadis ini memang berkaitan dengan tambang garam. Namun demikian, ini berlaku umum untuk semua tambang yang jumlahnya berlimpah atau menguasai hajat hidup orang banyak. Ini sesuai dengan kaidah ushul:
العِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَفْظِ، لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
Patokan hukum itu bergantung pada keumuman redaksi (nas)-nya, bukan bergantung pada sebab (latar belakang)-nya (Fakhruddin ar-Razi, Al-Mahshûl fii ‘Ilm Ushûl Fiqh, 3/125).
Berdasarkan hadis diatas, tambang apapun yang menguasai hajat hidup orang banyak atau jumlahnya berlimpah—tak hanya tambang garam, sebagaimana dalam hadis di atas—haram dimiliki oleh pribadi/swasta/asing. Termasuk haram diklaim sebagai milik negara, termasuk atas nama ormas keagamaan. Negara hanya memiliki kewajiban dalam pengelolaannya. Lalu hasilnya diberikan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Dengan pengelolaan berdasarkan syariah Islam, potensi pendapatan negara dari harta milik umum, khususnya sektor pertambangan, sangatlah besar. Secara ringkas, perhitungannya adalah sebagai berikut :
- Minyak: Dengan produksi 223,5 juta barel, harga rata-rata USD 97 perbarel, nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 54,1%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp 183 triliun.
- Gas Alam (Natural Gas): Dengan produksi 2,5 miliar MMBTU, harga rata-rata USD 6,4 per MMBTU, nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 54,1%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp 136 triliun.
- Batubara: Dengan produksi 687 juta ton, harga rata-rata 345 per ton, dan nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 57,4% maka laba yang diperoleh sebesar Rp 2.002 triliun.
- Emas: Dengan produksi 85 ton, harga rata-rata USD 63,5 juta per ton, nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 34,9%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp 29 triliun.
- Tembaga: Dengan produksi 3,3 juta ton, harga rata-rata USD 8.822 per ton, nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 34,9%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp 159 triliun.
- Nikel: Dengan produksi bijih nikel yang setara dengan 1,8 juta ton nikel, harga rata-rata USD 2.583 per ton, nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 26,6%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp 189 triliun.
Berdasarkan perhitungan tersebut, maka potensi pendapatan dari harta milik umum (batubara, minyak mentah, gas, emas, tembaga dan nikel dapat diperoleh laba sebesar Rp 5.510 triliun (dua kali lipat APBN yang 77% pemasukannya dari pajak). Ini jika ditambah dengan hasil hutan dan hasil laut. Pendapatan sebesar ini belum termasuk dari 12 sumber pendapatan lain yang juga memiliki potensi penerimaan yang cukup besar (Lihat: Muis, “Sumber Penerimaan Negara Islam Tanpa Pajak dan Utang,” Al-Waie, Maret 2024).
Agar semua itu bisa terwujud, jelas negara ini harus diatur oleh syariah Islam. Bukan oleh aturan-aturan dari ideologi Kapitalisme sebagaimana saat ini, yang memberikan keleluasaan sedemikian rupa kepada pihak swasta/asing dalam menguasai sebagian besar harta kekayaan milik umum, di antaranya aneka tambang yang sangat berlimpah di negeri ini. Selain itu, hukuman yang tegas sesuai ketentuan syariah Islam terhadap para koruptor—khususnya yang melakukan korupsi atas harta kekayaan milik umum (rakyat)—wajib ditegakkan.
Karena itu penerapan syariah Islam dalam pengaturan negara ini di segala bidang kehidupan, khususnya di bidang ekonomi, khususnya lagi dalam pengelolaan sumber daya alam milik umum, harus segera diwujudkan. Sebabnya jelas, Allah SWT telah memerintahkan semua Muslim—tanpa kecuali—untuk mengamalkan syariah Islam secara menyeluruh (kâffah), sebagaimana firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara menyeluruh, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian (QS al-Baqarah [2]: 208).
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb.
Penulis : Ikhsan Wali