Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ULUL AZMI: LENTERA KETEGUHAN DI PUSARAN ZAMAN

Foto : Ulul Azmi (Ugy/filsafatmuslim.com)

Filsafat Muslim - Dalam pusaran zaman yang kerap dihantam krisis multidimensi, kisah ketabahan para nabi Ulul Azmi menawarkan perspektif universal tentang kepemimpinan, ketahanan spiritual, dan etos perjuangan. Konsep Ulul Azmi, yang merujuk pada lima nabi pilihan dengan kesabaran luar biasa, tidak hanya menjadi pilar teologis dalam Islam, tetapi juga inspirasi bagi manusia modern dalam merespons tantangan peradaban.

Siapa Mereka?

Istilah Ulul Azmi berasal dari frasa Arab ulū al-‘azm (أُولُو الْعَزْمِ), yang secara harfiah berarti "pemilik keteguhan hati". Dalam Al-Qur’an, gelar ini termaktub dalam Surah Al-Ahqaf ayat 35: "Maka bersabarlah engkau sebagaimana kesabaran para nabi Ulul Azmi." Kelima nabi tersebut adalah Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad—figur yang diyakini oleh umat Islam sebagai pemilik keteguhan tertinggi dalam menjalani misi kenabian.

Menurut Dr. Syafiq Basyah, pakar tafsir Universitas Al-Azhar Kairo, "Ulul Azmi adalah simbol ketahanan jiwa. Mereka menghadapi ujian yang tak hanya fisik, tetapi juga psikis dan sosial, dengan kesabaran yang melampaui batas manusia biasa."

Ujian yang Membentuk Sejarah

Setiap nabi Ulul Azmi dihadapkan pada tantangan yang mencerminkan kompleksitas zamannya:

1. Nabi Nuh AS: Berdakwah selama 950 tahun menghadapi cemooh dan penolakan, bahkan dari keluarganya. Kisahnya mengajarkan konsistensi dalam prinsip meski hasil tak kunjung terlihat. Banjir besar yang menghancurkan kaumnya menjadi metafora tentang konsekuensi pengingkaran terhadap nilai kemanusiaan dan lingkungan.

2. Nabi Ibrahim AS: Ujiannya bersifat personal-transendental: menghadapi api Raja Namrud, mengorbankan anaknya Ismail, hingga meninggalkan keluarga di gurun Makkah. Ibrahim menjadi ikon tawakal (berserah diri) yang aktif, bukan pasif.

3. Nabi Musa AS: Konfrontasi dengan Fir’aun, penguasa zalim yang mengklaim diri sebagai tuhan, mencerminkan perjuangan melawan tirani politik dan kesombongan intelektual. Dialog Musa dengan Fir’aun dalam Surah Thaha menjadi preseden awal tentang pentingnya keberanian menyuarakan kebenaran di hadapan kekuasaan korup.

4. Nabi Isa AS: Menghadapi fitnah dan pengkhianatan, termasuk upaya pembunuhan oleh penguasa Romawi. Ajaran kasih sayangnya menjadi fondasi etika sosial yang relevan hingga kini.

5. Nabi Muhammad SAW: Ditinggal keluarga, dikepung embargo ekonomi, hingga difitnah, Rasulullah menyatukan suku-suku Arab yang terpecah dalam naungan Piagam Madinah. Kepemimpinannya menjadi model resolusi konflik dan inklusivitas.

Relevansi di Era Modern

Kisah Ulul Azmi bukan sekadar narasi masa lalu. Dalam konteks kekinian, keteguhan Nuh mengingatkan pada krisis lingkungan; perjuangan Musa menginspirasi gerakan anti-diktator; sementara diplomasi Muhammad menjadi rujukan toleransi multikultural.

"Ulul Azmi mengajarkan bahwa ujian adalah proses pembentukan karakter. Di tengah pandemi, konflik, dan ketidakadilan global, kita perlu meneladani kesabaran aktif mereka: tidak hanya bertahan, tetapi juga bergerak menciptakan solusi," ujar Amina Wadud, profesor studi Islam di Universitas Virginia.

Pelajaran untuk Generasi Z

Bagi generasi digital yang kerap dihadapkan pada tekanan mental dan ketidakpastian masa depan, kisah Ulul Azmi menawarkan tiga pelajaran utama:

1. Resiliensi: Kegagalan bukan akhir, melainkan bagian dari proses.

2. Visioner: Setiap nabi memiliki visi jangka panjang yang melampaui zamannya.

3. Empati: Perjuangan mereka dilandasi cinta pada kemanusiaan, bukan ambisi pribadi.

Sebagai penutup, Syekh Ali Jaber, dai internasional, pernah berpesan: "Ulul Azmi mengajarkan kita untuk tidak hanya berdoa meminta jalan keluar, tetapi juga mengukir jalan itu dengan tindakan nyata."

Di tengah gempuran zaman, kisah para penghulu sabar ini tetap menyala—bagai lentera yang menerangi jalan peradaban manusia menuju keadaban. (Ugy/FM)