Perang Bayangan Iran-Israel: Antara Kepentingan Geopolitik dan Masa Depan Palestina
Konflik yang memanas antara Iran dan Israel telah memicu kebingungan dan berbagai pertanyaan di tengah umat Islam. Apakah ini perang sungguhan? Apakah ini menguntungkan Palestina atau justru sebaliknya? Mungkinkah ini menjadi pemicu Perang Dunia Ketiga? Dan yang terpenting, bagaimana seharusnya sikap kita sebagai seorang Muslim dalam menyikapi peristiwa yang sangat kompleks ini?
Untuk menavigasi lanskap yang rumit ini, kita memerlukan satu hal yang paling berharga: kebijaksanaan (al-hikmah). Allah SWT berfirman, "Dan barangsiapa dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak." (QS. Al-Baqarah: 269). Dengan hikmah, kita mampu membedakan siapa kawan dan siapa lawan, sebuah kemampuan yang krusial di zaman ketika kebenaran dan kepalsuan sengaja dibaurkan.
Membaca Sinyal: Siapa Kawan, Siapa Lawan?
Dua pernyataan yang muncul di tengah konflik ini dapat menjadi kunci untuk membuka pemahaman kita:
1. Ucapan Terima Kasih Jurnalis Zionis kepada Yordania: Beberapa jurnalis Israel secara terbuka berterima kasih kepada Yordania karena telah mencegat dan menghalau sebagian besar rudal Iran yang melintasi wilayah udaranya.
2. Klaim Perdana Menteri Israel: PM Israel menyatakan bahwa salah satu tujuan serangan mereka ke Iran adalah untuk "melindungi negara-negara Arab".
Dua sinyal ini secara gamblang menunjukkan betapa rumitnya aliansi di Timur Tengah. Mereka mengungkap adanya "musuh dalam selimut" dan menegaskan kembali siapa musuh utama yang sebenarnya, yang tidak pernah berubah tujuannya terhadap Palestina dan umat Islam.
Di Balik Serangan: Empat Tujuan Strategis Israel
Untuk memahami dampak konflik ini terhadap Palestina, kita harus memahami agenda strategis di baliknya. Israel memiliki setidaknya empat tujuan utama dalam eskalasi ini:
1. Mencegah Iran Menjadi Kekuatan Nuklir Saat ini, Israel adalah satu-satunya negara di Timur Tengah yang memiliki senjata nuklir, memberikannya monopoli kekuatan yang tak tertandingi di kawasan tersebut. Iran, selama puluhan tahun, terus berupaya mengembangkan program nuklirnya sendiri. Kabar bahwa Iran mendekati kemampuan memproduksi bom nuklir pertama mereka menjadi ancaman eksistensial bagi dominasi Israel. Oleh karena itu, target utama serangan Israel adalah fasilitas riset nuklir dan para ilmuwan Iran, dengan tujuan melumpuhkan program tersebut secara permanen.
2. Memutus Rantai Dukungan Militer ke Palestina Tidak dapat dipungkiri, secara de facto, satu-satunya negara yang memberikan dukungan militer dan persenjataan secara signifikan kepada faksi-faksi perlawanan Palestina adalah Iran. Dengan memicu perang langsung, Israel bertujuan untuk memutus total jalur suplai ini, mengisolasi Palestina, dan memastikan bantuan yang masuk hanya sebatas bantuan kemanusiaan yang dapat mereka kontrol sepenuhnya.
3. Mendorong Perubahan Rezim di Iran Ini adalah tujuan jangka panjang. Israel berupaya menggulingkan rezim Republik Islam Iran yang berkuasa sejak revolusi 1979 dan menggantinya dengan rezim yang lebih bersahabat, seperti Dinasti Pahlavi yang pro-Barat di masa lalu. Putra dari Shah Pahlavi diketahui masih hidup, sering mengunjungi Israel, dan terus didanai untuk agenda ini.
4. Memecah Belah Umat Islam Strategi paling klasik dan efektif adalah mengalihkan perhatian. Dengan membingkai konflik ini sebagai "perang Sunni vs. Syiah" atau "Arab vs. Persia", Israel berharap dapat memecah belah umat Islam. Ketika umat Islam sibuk bertikai satu sama lain, mereka akan lupa siapa musuh utama mereka sebenarnya. Kemenangan terbesar bagi Zionisme adalah perpecahan umat Islam.
Konteks Internal Israel dan Visi "Eretz Yisrael"
Penting untuk dipahami bahwa pemerintahan Israel saat ini adalah yang paling ekstrem dalam sejarahnya. Didukung oleh kelompok Yahudi ultra-religius (Haredim), tujuan mereka bukanlah sekadar menjaga keamanan, melainkan menghapus Palestina dari peta dunia dan mewujudkan visi teologis "Eretz Yisrael" (Israel Raya), yang wilayahnya membentang dari Sungai Efrat di Irak hingga Sungai Nil di Mesir. Inilah alasan mengapa hingga hari ini, Israel secara sengaja tidak pernah menetapkan batas-batas negara yang jelas dalam undang-undangnya, karena ideologi mereka adalah ekspansi tanpa henti.
Perspektif Harapan: Sunnatullah dan Titik Balik Sejarah
Di tengah semua kabar buruk ini, apakah ada harapan? Jawabannya adalah ya, dan harapan itu bersumber dari keyakinan kita pada Sunnatullah fil Kaun (hukum-hukum Allah yang berlaku di alam semesta).
Salah satu sunnatullah yang tidak pernah berubah adalah siklus naik dan turunnya sebuah umat. Ketika suatu kaum telah mencapai titik paling rendah dari kehinaan dan penderitaan, maka tidak ada jalan lain setelah itu kecuali jalan untuk bangkit kembali. Umat Islam dan Palestina saat ini berada di titik terendah tersebut. Dikhianati, dibantai di depan mata dunia, sementara banyak pemimpin berlomba-lomba menormalisasi hubungan dengan penjajah.
Meskipun ini sangat menyakitkan, ini juga pertanda baik. Ini adalah sinyal bahwa titik balik sudah dekat. Allah SWT seringkali menghancurkan orang-orang zalim melalui kesombongan dan tangan mereka sendiri. Ketika kezaliman dan kesombongan mencapai puncaknya—seperti yang ditunjukkan Israel dengan terang-terangan mencela agama, membantai warga sipil tanpa henti—maka saat itulah kehancuran mereka semakin dekat.
Sikap Kita: Menjaga Fokus dan Terus Berjuang
Maka, bagaimana seharusnya sikap kita?
1. Tetap Optimis dan Jangan Berhenti Bersuara: Kemenangan sudah dekat. Jangan pernah berhenti menyuarakan kebenaran tentang Palestina. Jadikan setiap platform sebagai media untuk perjuangan.
2. Jangan Terjebak dalam Perpecahan: Sadarilah bahwa konflik ini dirancang untuk memecah belah kita. Jangan biarkan perbedaan mazhab atau suku membuat kita salah menentukan musuh. Musuh utama kita adalah Zionisme dan penjajahan atas tanah suci Palestina.
3. Terus Berjuang Semampu Kita: Perjuangan bisa dilakukan dengan berbagai cara: dengan suara kita untuk menyadarkan orang lain, dengan doa kita yang tulus di setiap waktu, dan dengan harta kita untuk membantu saudara-saudara kita yang membutuhkan.
4. Jangan Diam: Diam di saat seperti ini adalah sebuah pilihan yang akan dipertanggungjawabkan. Allah sedang menyaring hamba-hamba-Nya, untuk melihat siapa yang peduli dan siapa yang memilih untuk abai.
Konflik ini bukanlah sekadar perang antara dua negara, melainkan bagian dari sebuah pertarungan ideologi dan eksistensi yang lebih besar. Tugas kita adalah tetap teguh pada prinsip, tidak kehilangan fokus, dan terus menjadi bagian dari barisan yang membela kebenaran, hingga hari kemenangan itu tiba. Insyaallah. (Ugy/FM)