Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Percikan Api di Sarajevo: Bagaimana Kematian Seorang Pangeran Membakar Dunia

Foto : Ilustrasi percikan api di Sarajevo (Ugy/filsafatmuslim.com)

Pada tahun 1914, dunia berada di puncak era optimisme. Teknologi, transportasi, pendidikan, hingga mode berkembang pesat dalam periode yang dikenal sebagai Belle Époque atau "Era Indah". Hampir tidak ada yang menyangka bahwa di balik kemajuan tersebut, sebuah "tong mesiu" politik siap meledak dan menjerumuskan dunia ke dalam salah satu konflik paling mematikan dalam sejarah: Perang Dunia Pertama.

Saat itu, peta kekuatan global sangat berbeda dari hari ini. Dunia didominasi oleh empat kekaisaran besar: Austria-Hongaria, Jerman, Rusia, dan Ottoman (Turki Usmani). Hubungan di antara mereka sangat rapuh, diwarnai oleh persaingan dan aliansi yang rumit. Terutama di wilayah Balkan, ketegangan membara setelah negara-negara kecil seperti Serbia, Rumania, dan Bulgaria melepaskan diri dari cengkeraman Austria-Hongaria dan Ottoman, seringkali dengan dukungan dari Rusia yang menjadi musuh bebuyutan kedua kekaisaran tersebut.

Insiden yang Mengubah Segalanya

Pemicu perang terjadi di tempat yang tak terduga. Pada 28 Juni 1914, di kota Sarajevo, Bosnia, Putra Mahkota Kekaisaran Austria-Hongaria, Archduke Franz Ferdinand, dan istrinya, Sophie, melakukan kunjungan kenegaraan. Kunjungan ini dibayangi oleh kebencian dari kelompok separatis Serbia yang menentang aneksasi Bosnia oleh Austria-Hongaria.

Sebuah serangan bom pertama yang ditujukan pada iring-iringan mereka gagal, hanya melukai beberapa pengawal. Namun, sang pangeran membuat keputusan fatal. Alih-alih segera mengamankan diri, ia memutuskan untuk menjenguk pengawalnya yang terluka di rumah sakit. Dalam perjalanan pulang, mobilnya salah berbelok dan secara kebetulan berhadapan langsung dengan salah satu anggota separatis, Gavrilo Princip, yang tanpa ragu melepaskan tembakan. Franz Ferdinand dan istrinya tewas di tempat.

Kematian putra mahkota memicu kemarahan luar biasa di Austria-Hongaria. Mereka menuduh Kerajaan Serbia mendalangi pembunuhan tersebut dan, dengan kepercayaan diri penuh berkat aliansi kuat dengan Kekaisaran Jerman, mengeluarkan ultimatum yang mustahil dipenuhi. Sebulan kemudian, Austria-Hongaria menyatakan perang terhadap Serbia.

Efek Domino: Dari Konflik Lokal Menjadi Perang Eropa

Deklarasi perang ini memicu efek domino dari sistem aliansi yang telah dibangun selama bertahun-tahun:

1. Rusia, sebagai pelindung kaum Slavia, memobilisasi pasukannya untuk membela Serbia.

2. Jerman, sekutu Austria-Hongaria, merespons dengan menyatakan perang terhadap Rusia.

3. Prancis, yang terikat aliansi dengan Rusia, ikut terseret ke dalam perang melawan Jerman dan Austria-Hongaria.

Kekaisaran Jerman, yang memiliki kekuatan militer paling unggul saat itu, mengaktifkan Rencana Schlieffen. Strategi ini dirancang untuk menghindari perang di dua front secara bersamaan: menghantam Prancis dengan cepat hingga takluk, baru kemudian memutar seluruh kekuatan untuk menghancurkan Rusia yang dianggap lamban dalam persiapan perang.

Namun, rencana ini tidak berjalan mulus. Untuk menyerang Prancis, Jerman mengambil jalan pintas dengan menginvasi Belgia, sebuah negara netral. Langkah ini terbukti fatal. Pelanggaran terhadap netralitas Belgia membuat Jerman dicap sebagai agresor di mata Eropa dan secara resmi menarik Britania Raya (Inggris) ke dalam kancah peperangan untuk membela Belgia.

Wajah Baru Peperangan: Parit dan Skala Global

Di tengah kekacauan di Front Barat, Jerman dikejutkan oleh mobilisasi Rusia yang lebih cepat dari perkiraan, memaksa mereka memecah pasukan untuk menahan serangan Rusia di Front Timur. Perang cepat yang diimpikan Jerman gagal total. Kedua belah pihak di Front Barat sama-sama kelelahan dan akhirnya menggali parit pertahanan yang membentang ratusan kilometer.

Inilah awal dari Perang Parit yang ikonik sekaligus brutal. Kedua pasukan berhadapan di parit yang kotor, bau, dan penuh penyakit, dipisahkan oleh zona mematikan yang disebut "No Man's Land". Selama berhari-hari, mereka saling menembaki. Ketika tembakan berhenti, pasukan akan diperintahkan menyerbu parit musuh, sebuah misi bunuh diri karena mereka akan disambut oleh senapan mesin. Strategi ini bukan hanya tentang persenjataan, tapi juga daya tahan fisik dan mental yang luar biasa, seperti yang digambarkan secara gamblang dalam film All Quiet on the Western Front.

Perang yang tadinya terpusat di Eropa dengan cepat meluas menjadi konflik global:

Kekaisaran Ottoman bergabung dengan Blok Sentral (Jerman & Austria-Hongaria).

Italia dan Jepang memihak Blok Sekutu (Prancis, Inggris, Rusia).

Pertempuran pecah di koloni-koloni Afrika dan Asia, di mana Australia merebut Nugini dan Jepang merebut kepulauan Pasifik dari Jerman.

Titik Balik dan Keterlibatan Amerika Serikat

Terdesak oleh kerugian besar, Jerman mengambil langkah-langkah drastis yang melanggar hukum perang, seperti mengebom kota-kota di Inggris, menggunakan senjata kimia (gas beracun), dan menenggelamkan kapal sipil dengan kapal selamnya.

Dua peristiwa besar pada tahun 1917 mengubah arah perang secara drastis:

1. Revolusi Rusia: Kerugian perang yang masif memicu kerusuhan di Rusia, yang berujung pada revolusi dan tumbangnya kekaisaran. Rusia menarik diri dari perang, sebuah keuntungan besar bagi Jerman yang kini bisa fokus di Front Barat.

2. Keterlibatan Amerika Serikat: Setelah lama netral, AS akhirnya ikut berperang. Pemicunya adalah serangan kapal selam Jerman terhadap kapal-kapal AS dan terungkapnya "Telegram Zimmermann", sebuah pesan rahasia di mana Jerman mengajak Meksiko untuk menyerang Amerika.

Kedatangan pasukan Amerika yang segar dan sumber daya industri mereka yang melimpah menjadi kunci kemenangan Sekutu.

Akhir Perang dan Warisan Pahit

Satu per satu negara Blok Sentral tumbang: Bulgaria, Kekaisaran Ottoman, lalu Austria-Hongaria. Akhirnya, pada 11 November 1918, Jerman yang dilanda kelaparan dan kelelahan perang secara resmi menyerah.

Perang ini meninggalkan luka yang dalam bagi sejarah manusia, dengan total korban jiwa mencapai lebih dari 18 juta jiwa dari pihak militer dan sipil. Akhir perang ditandai dengan Perjanjian Versailles pada 28 Juni 1919, yang isinya sangat memberatkan Jerman:

Wilayah: Kehilangan wilayah Alsace-Lorraine ke Prancis dan sebagian wilayahnya ke Polandia. Semua koloninya diserahkan kepada Sekutu.

Militer: Dibatasi hanya boleh memiliki 100.000 tentara, tanpa angkatan udara, tank, dan kapal selam.

Ganti Rugi: Diwajibkan membayar ganti rugi perang yang nilainya astronomis.

Politik: Dilarang bergabung dengan Liga Bangsa-Bangsa (cikal bakal PBB) dan dipaksa menerima seluruh tanggung jawab sebagai penyebab perang.

Siapa sangka, kematian seorang pangeran di Sarajevo menjadi percikan api yang membakar seluruh dunia. Namun, akhir dari "Perang Besar" ini, dengan segala hukumannya yang dianggap tidak adil oleh rakyat Jerman, justru menanam benih kebencian yang kelak akan tumbuh menjadi Perang Dunia Kedua, hanya dua dekade kemudian. (Ugy/FM)