Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Gagahnya Jihad Santri Di Medan Laga: Ketika Sejarah dan Perjuangan Kyai Dilupakan

 

Foto : Dokumentasi Aksi Aliansi Santri di Mapolda Lampung (Hdk/filsafatmuslim.com)

Filsafat Muslim - Di tengah gemuruh kritik yang dituai Trans7 akibat tayangan yang dianggap melecehkan dunia pesantren, bangsa ini diingatkan kembali pada sejarah emas pengorbanan para kiai dan santri. Resolusi Jihad yang dikumandangkan oleh Hadratussyeikh KH Hasyim Asy'ari pada 22 Oktober 1945 menjadi fondasi spiritual yang menggerakkan ribuan santri untuk berjihad mengusir penjajah. Fatwa yang mewajibkan perlawanan dan menyatakan gugur di medan tempur sebagai syahid itu adalah bukti nyata bahwa kecintaan pada tanah air (hubbul wathan) adalah bagian tak terpisahkan dari iman mereka . Kini, di saat yang sama, Trans7 justru mempertontonkan narasi yang bertolak belakang dengan semangat pengabdian tersebut, dengan narasi yang menyudutkan seperti, "Kiainya Yang Kaya Raya, Tapi Umatnya Yang Kasih Amplop".

Perjuangan itu bukanlah dongeng. Dengan berbekal bambu runcing dan ilmu kanuragan, para santri dan kiai, seperti Kiai Saleh Lateng, Kiai Abbas Hasan, dan Kiai Wahab, turun langsung ke barisan depan pertempuran, termasuk dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan . Mereka rela pesantrennya dibumihanguskan dan kitab-kitabnya dibakar oleh Belanda demi mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diproklamirkan . Semangat inilah yang membuat Belanda akhirnya menelan pil pahit kegagalan untuk menguasai Indonesia kembali . Kontras dengan pengorbanan ini, tayangan Trans7 dinilai telah mereduksi hubungan spiritual yang dalam antara kiai dan santri hanya menjadi transaksi material, yang memicu gelombang kecaman dari berbagai pihak, termasuk MUI dan PBNU .

Menanggapi badai kontroversi ini, Pondok Pesantren Lirboyo justru menunjukkan sikap yang elegan dan penuh keteladanan. Alih-alih membalas dengan kemarahan, mereka mengunggah pesan menyentuh yang menggambarkan kiai sebagai sosok yang "mengabdikan hidupnya bukan untuk dikenal, tapi untuk meneruskan ilmu dan iman" dan pesantren sebagai tempat para santri belajar tentang "kesabaran, pengorbanan, dan cinta kepada sesama". Respons yang damai dan berwibawa ini menjadi pengingat bagi seluruh bangsa tentang kontribusi tak ternilai kaum santri sebagai "tulang punggung NKRI" yang telah berjuang sejak era kerajaan hingga mempertahankan kemerdekaan . Peristiwa ini mengajarkan bahwa di tengah opini yang gaduh, keteladanan dan pengabdian tulus para kiai dan santri-lah yang akan berbicara paling lantang, sebagaimana warisan sejarah yang telah mereka torehkan dengan tinta emas untuk Indonesia.

Duka dan Proses Hukum: Umat Meminta Keadilan

Gelombang kekecewaan tidak hanya berhenti pada kecaman moral. Laporan polisi secara resmi telah dilayangkan oleh sejumlah pihak, termasuk ormas Islam, kepada stasiun televisi yang bersangkutan. Mereka menduga adanya unsur penistaan agama dan pencemaran nama baik yang dapat memecah belah kerukunan umat beragama . Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) pun angkat bicara, mengingatkan seluruh insan penyiaran untuk selalu mematuhi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS), yang melarang materi yang melecehkan suatu agama atau keyakinan . Desakan untuk meminta maaf secara terbuka dan menarik tayangan tersebut terus bergulir, menunjukkan bahwa masyarakat luas tidak tinggal diam ketika simbol-simbol agama dan nilai-nilai luhur pesantren diinjak-injak.

Melampaui Kontroversi: Menatap Ke Depan dengan Menjaga Martabat

Di tengah situasi yang memanas, respons dari kalangan pesantren justru menjadi pelajaran besar tentang keteladanan dan kedewasaan bermasyarakat. Alih-alih terpancing untuk melakukan aksi anarkis, para kiai dan santri lebih memilih untuk menjawab dengan kerja nyata dan kontribusi untuk bangsa. Mereka terus mendidik generasi penerus di pondok pesantren, menggerakkan ekonomi umat, dan menjadi garda terdepan dalam menjaga moderasi beragama di Indonesia . Sikap ini mengingatkan kita semua bahwa warisan terbesar perjuangan kiai dan santri bukan hanya pada perlawanan fisik di masa lalu, melainkan juga pada keteguhan hati dan kemuliaan akhlak dalam menghadapi setiap ujian zaman.

Sejarah yang Tak Terbantahkan, Masa Depan yang Harus Dibangun Bersama

Kisah heroik Rijadah NU di masa revolusi dan ketegangan hari ini bagai dua sisi mata uang yang sama. Ia membuktikan bahwa sumbangsih pesantren bagi Indonesia adalah fakta sejarah yang tak terbantahkan, jauh lebih kokoh daripada narasi-narasi sesat yang mencoba mereduksinya . Peristiwa ini seharusnya menjadi momentum introspeksi bagi semua pihak, terutama media, untuk lebih bertanggung jawab dalam menyajikan informasi dan menghormati kelompok mana pun. Kini, tugas kita bersama adalah melampaui kabar gaduh ini, merajut kembali harmoni, dan terus mengenang jasa para pahlawan santri yang telah menjadikan Republik ini tetap berdiri di atas prinsip “Bhinneka Tunggal Ika”. Karena pada akhirnya, hanya dengan saling menghormati dan belajar dari sejarah, Indonesia yang lebih baik dapat terwujud. (Hdk/FM)