Tragedi Ambruknya Musala Ponpes Al Khoziny: Memaknai Kalimat “Ini Takdir Allah, Prespektif Teologi”
Filsafat Muslim - Pada 1 Oktober 2025 di Ponpes Al Khoziny terjadi bencana ambruknya bangunan musholla yang menewaskan menewaskan puluhan santri. Pimpinan
Ponpes Al Khoziny, KH Abdus Salam Mujib, menyikapi tersebut dengan mengemukakan:
"Ini takdir dari Allah." Pernyataan ini viral di media sosial dan
memicu perdebatan sengkat antara pemahaman ketundukan pada ketentuan Ilahi
dengan tuntutan tanggung jawab dan ikhtiar manusia. Banyak pihak, termasuk
orang tua santri, menerima dengan ikhlas, sementara pakar dan pengamat
menyerukan pentingnya investigasi dan audit keselamatan untuk mencegah terulangnya
tragedi serupa.
Penjelasan
Teologis: Memahami Makna "Takdir Allah"
Pernyataan
bahwa musala yang ambruk adalah "takdir Allah" perlu dipahami dalam
kerangka teologi Islam yang komprehensif agar tidak terjebak pada pemahaman
yang sempit dan pasif. Konsep takdir (qadha dan qadar) merupakan bagian dari
iman, namun ia memiliki dimensi yang luas yang melibatkan Ilmu Allah, Iradah
Allah, dan Lauhul Mahfudz.
Pertama,
Ilmu Allah (Pengetahuan Allah) adalah sifat azali Allah yang meliputi segala
sesuatu. Sebelum langit dan bumi diciptakan, Allah telah mengetahui dengan
sempurna rencana pembangunan musala, kualitas materialnya, peristiwa yang akan
terjadi di dalamnya, hingga detik-detik ambruknya bangunan tersebut. Tidak ada
satu pun atom yang bergerak di alam semesta ini luput dari pengetahuan-Nya.
Jadi, tragedi itu terjadi dalam koridor ilmu Allah yang Maha Mengetahui.
Kedua,
Iradah Allah (Kehendak Allah). Segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini,
baik maupun buruk dalam pandangan kita, tidak lepas dari kehendak (masyi'ah)
Allah. Ketika alam semesta berjalan sesuai dengan hukum sebab-akibat
(sunnatullah) yang Dia tetapkan seperti gravitasi atau kekuatan material itu
juga adalah bentuk dari kehendak-Nya. Ambruknya musala, yang diduga karena
faktor struktural, terjadi dengan izin dan dalam kehendak Allah. Namun,
kehendak Allah di sini tidak serta-merta berarti "keridhaan" atau
"persetujuan" terhadap kelalaian manusia. Allah mengizinkan hal itu
terjadi dengan mempertimbangkan sebab-sebab duniawi yang dilakukan oleh
manusia.
Ketiga,
Lauhul Mahfudz (Loh Terpelihara). Ini adalah "catatan induk" alam
semesta di mana segala ketetapan dan takdir segala makhluk telah tertulis
secara detail. Peristiwa ambruknya musala beserta semua detailnya, termasuk
para santri yang hadir di dalamnya, telah tercatat di Lauhul Mahfudz. Inilah
yang dimaksud dengan takdir yang telah ditetapkan sejak zaman azali.
Dari penjelasan ini, kita memahami bahwa menyebut suatu musibah sebagai "takdir" adalah benar secara teologis, karena ia terjadi dalam koridor Ilmu, Iradah, dan Catatan Allah. Namun, sikap seorang muslim tidak boleh berhenti pada penerimaan pasif. Ikhtiar (usaha) manusia adalah bagian dari takdir itu sendiri. Allah menakdirkan sesuatu terjadi melalui serangkaian sebab. Kelalaian dalam membangun dan mengawasi keamanan bangunan adalah "sebab" yang dilakukan oleh manusia, dan Allah menakdirkan "akibat" runtuhnya bangunan tersebut melalui hukum-Nya yang berlaku di alam semesta. Oleh karena itu, setelah meyakini takdir, kewajiban manusia adalah bertanggung jawab, introspeksi, dan memperbaiki ikhtiar di masa depan sebagai bentuk pelaksanaan perintah Allah untuk beramar ma'ruf nahi munkar dan menjauhi kerusakan di muka bumi.
Mensinergikan
Takdir dengan Tanggung Jawab Manusia
Oleh
karena itu, pernyataan “ini takdir Allah” dalam konteks musibah seharusnya
tidak menjadi akhir dari pembahasan, melainkan titik tolak untuk melakukan
evaluasi dan perbaikan. Dalam teologi Islam, keyakinan pada takdir justru harus
mendorong dua sikap sekaligus: qana’ah (menerima ketetapan yang telah terjadi)
dan tathawwu’ (bersungguh-sungguh berusaha untuk perubahan di masa depan).
Pertama,
dari segi Iradah Allah, kita mengenal dua jenis kehendak:
1.
Al-Iradah al-Kauniyyah (Kehendak Kauniyah): Ini adalah kehendak Allah yang
bersifat universal dan mutlak, yang mencakup segala yang terjadi di alam
semesta, termasuk musibah dan bencana. Musibah ambruknya musala terjadi dalam
koridor kehendak kauniyah ini.
2.
Al-Iradah ad-Diniyyah (Kehendak Syar’iyyah): Ini adalah kehendak Allah yang
tercermin dalam perintah dan larangan-Nya dalam agama. Allah sangat tidak
meridhai kelalaian, kerusakan, dan tindakan yang membahayakan jiwa. Dalam
konteks ini, membangun bangunan yang tidak memenuhi standar keselamatan
bertentangan dengan Iradah ad-Diniyyah Allah.
Dengan
memahami perbedaan ini, kita melihat bahwa meskipun musibah itu terjadi dalam
kehendak kauniyah-Nya, penyebab yang berasal dari kelalaian manusia justru
melanggar kehendak syar’iyyah-Nya. Inilah alasan mengapa kita tidak boleh
“bersembunyi” di balik takdir kauniyah untuk menghindar dari tuntutan
syar’iyyah.
Kedua,
dalam konteks Lauhul Mahfudz, takdir yang tertulis bukanlah sebuah skenario
kaku yang membuat manusia bagai wayang tanpa kehendak. Justru, Allah telah
menuliskan di Lauhul Mahfudz tentang apa yang akan dipilih oleh manusia beserta
konsekuensinya. Allah tahu bahwa jika manusia memilih material yang rendah
kualitasnya, maka akibatnya bangunan itu akan runtuh pada waktu tertentu.
Pilihan manusia itulah yang menjadi sebab, dan akibatnya adalah bagian dari
takdir yang telah Allah catat dengan ilmu-Nya yang Maha Luas.
Oleh
sebab itu, respon yang proporsional terhadap musibah ini adalah:
1.
Secara Internal (Spiritual): Bersabar, menerima ketetapan Allah, dan mendoakan
korban sebagai bentuk penyerahan diri pada Ilmu dan Iradah Kauniyah Allah.
2.
Secara Eksternal (Sosial dan Hukum): Melakukan investigasi mendalam, mengaudit
semua bangunan pesantren, dan menindak tegas setiap kelalaian. Ini adalah
bentuk pelaksanaan dari Iradah Diniyyah Allah dan pengakuan bahwa manusia harus
mempertanggungjawabkan ikhtiar dan pilihannya di dunia.
Dengan demikian, narasi yang dibangun bukanlah “ini takdir, jadi kita pasrah saja”, melainkan “ini adalah takdir yang harus kita renungi dan ambil pelajaran untuk kemudian kita perbaiki ikhtiar kita sebagai bentuk ketaatan kepada perintah-Nya”. Inilah keseimbangan sempurna antara tawakkal (bersandar kepada Allah) dan ta’at (menjalankan perintah Allah untuk berikhtiar dan bertanggung jawab). (Hdk/FM)
