Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Juara 3 Nasional NACWEEK 2025, Tim FOSI FP Unila Tunjukkan Kelas

 

Foto : Dokumentasi Mahasiswa FOSI FP Unila meraih Juara 3 National Agricultural Competition NACWEEK 2025 di Universitas Jambi (Ugy/filsafatmuslim.com)

Filsafat Muslim - Di tengah hiruk pikuk lomba akademik yang sering berhenti pada euforia sesaat, UKMF FOSI Fakultas Pertanian Universitas Lampung menghadirkan kemenangan yang punya arah. Pada Senin, 22 September 2025, tiga mahasiswa FOSI FP Unila meraih Juara 3 National Agricultural Competition NACWEEK 2025 di Universitas Jambi, sebuah ajang bergengsi bertema besar keberlanjutan. Ini bukan sekadar medali, melainkan tesis kecil tentang bagaimana ilmu, ketika dikerjakan dengan rendah hati dan gotong royong, dapat memulihkan yang retak dan menumbuhkan yang rapuh.

Tim Unila beranggotakan Maulana Adib Al Bayan, Agronomi dan Hortikultura angkatan 2023, sebagai ketua, Khatamul Annisa Fadhilah, Teknologi Hasil Pertanian 2023, dan Khoirunnisa Maulidya, Kehutanan 2023. Dari tiga jalur keilmuan yang tampak terpisah, mereka merumuskan satu ikhtiar, inovasi rehabilitasi lingkungan lahan pertanian dan kawasan kehutanan yang tidak hanya menyehatkan tanah, tetapi juga menyuplai nilai ekonomi berkelanjutan bagi warga sekitar. Inilah sisi paling kuat dari karya mereka, tidak jatuh cinta pada jargon, melainkan berlabuh pada desain yang aplikatif.

“Kami menggabungkan perspektif dari agronomi, kehutanan, dan teknologi pangan untuk menciptakan sebuah konsep rehabilitasi yang tidak hanya memulihkan lahan, tetapi juga memiliki nilai ekonomi berkelanjutan bagi masyarakat sekitar,” ujar Maulana, merangkum strategi tim.

Dari Silo ke Sinergi, Metodologi yang Menyembuhkan

Prestasi ini menegur kebiasaan lama di kampus, cara kerja yang terkotak kotak. Agronomi, kehutanan, dan teknologi hasil pertanian kerap berjalan sendiri, masing masing sibuk dengan metriknya. Tim FOSI FP Unila membaliknya. Mereka mempraktikkan pendekatan multidisiplin sebagai cara berpikir: agronomi untuk memulihkan daya hidup tanah, kehutanan untuk menjaga integritas ekosistem, teknologi pangan untuk memastikan hasilnya masuk akal ekonomi. Kolaborasi seperti ini bukan romantisme, ia menuntut disiplin epistemik, tahu kapan berbicara, kapan mendengar, kapan memimpin, kapan mengikuti data. Hasilnya, konsep rehabilitasi tidak berhenti pada teknik konservasi, tetapi merentang ke model nilai tambah yang membuat warga lokal menjadi subjek, bukan objek perbaikan.

Keberlanjutan sebagai Keberanian Mendesain

NACWEEK 2025 menempatkan keberlanjutan sebagai panggung utama. Tim FOSI FP Unila menjawabnya dengan menyatukan pemulihan ekologis dan insentif ekonomi. Degradasi lahan bukan hanya krisis biofisik, melainkan juga krisis institusional dan sosial. Maka inovasi yang bermakna harus memikirkan rantai nilai, akses pasar, dan insentif perilaku, bukan hanya spesifikasi teknis. Di titik ini, karya mereka memperlihatkan etika desain, tidak ada solusi ekologis yang tahan lama tanpa insentif ekonomi yang adil, dan tidak ada insentif ekonomi yang bermartabat tanpa menghormati batas batas ekologis.

Dari Kampus ke Kampung, Pengetahuan yang Bisa Diterapkan

Kemenangan ini juga meruntuhkan anggapan bahwa kontribusi kampus identik dengan publikasi yang jauh dari lapangan. Tim ini justru menghadirkan pengetahuan yang dapat dirakit ulang oleh komunitas lokal, praktik yang adaptif terhadap konteks, bukan resep kaku. Pemulihan lahan pertanian yang terkoordinasi dengan tata ekologi kehutanan lalu dikaitkan dengan pengolahan hasil menciptakan lingkaran kebajikan, tanah yang pulih, produksi yang stabil, nilai tambah yang layak, insentif untuk terus merawat lanskap. Bahwa prestasi ini hadir di Universitas Jambi sekaligus diharapkan memacu mahasiswa UNJA lainnya memberi pesan sederhana, kompetisi terbaik adalah yang memperbanyak kolaborasi.

Pelajaran untuk Institusi, Infrastruktur Kolaborasi

Prestasi jarang lahir dari ruang kosong. Ia memerlukan infrastruktur kolaborasi, komunitas belajar seperti FOSI, dosen yang membuka ruang eksperimentasi, kurikulum yang lentur, serta budaya kampus yang menghargai lintas disiplin. Jika kampus kampus serius pada isu degradasi lahan, ekosistem semacam ini yang harus diperkuat, ruang temu yang memaksa mahasiswa keluar dari ruang nyaman disiplin masing masing.

Epilog, Menyambung Ilmu dengan Tauhid

Pada akhirnya, Islam memandatkan manusia sebagai khalifah fil ardh, pengelola yang merawat, bukan penakluk yang merusak. Prinsip mizan, keseimbangan, mengingatkan bahwa alam memiliki batas yang harus dihormati. Larangan untuk membuat kerusakan di muka bumi adalah etika operasional, bukan slogan, ia menuntut desain kebijakan, teknologi, dan ekonomi yang menahan diri. Sabda bahwa sebaik baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain menjadi uji materi, apakah ilmu kita melahirkan maslahat nyata. Tim FOSI FP Unila menjawab mandat itu dengan terang, memulihkan lahan sambil memuliakan manusia. Tauhid tidak berhenti pada lisan, ia menjadi praktik rekayasa yang menjaga keseimbangan, menjadi ekonomi yang adil, dan pengetahuan yang menghidupkan bumi. Jika ini arah yang dipilih generasi muda kampus, ada alasan rasional dan spiritual untuk percaya, masa depan pertanian dan kehutanan Indonesia bisa tumbuh tanpa menggadaikan keseimbangannya. Selamat untuk Maulana, Annisa, dan Khoirunnisa. Prestasi kalian adalah kabar baik bagi Unila, bagi NACWEEK, dan bagi bumi yang kita jaga bersama. (Ugy/FM)