Tinjauan Filsafat Etika Dan Hukum Fikih Islam Atas Kasus Perselingkuhan
Filsafat Muslim - Kasus
perselingkuhan bukan sekadar sensasi media, tetapi mencerminkan kegentingan
ujian moral dalam masyarakat modern. Peristiwa ini mengetuk kesadaran kolektif
untuk merefleksikan kembali batasan etika dalam relasi interpersonal dan
respons masyarakat terhadap pelanggaran norma. Dalam perspektif Islam, setiap
pelanggaran moral, terlebih yang melibatkan publik figur, mengandung dimensi
transenden dan sosial yang kompleks. Tulisan ini akan menganalisis fenomena
tersebut melalui lensa filsafat etika Islam dan kerangka hukum fikih, mengurai
benang kusut antara kesalahan individu, dampak sosial, dan konsekuensi
legal-formal.
Dimensi
Filosofis-Etis: Selingkuh dalam Cakrawala Pemikiran Islam
Dalam
kerangka filsafat etika Islam, perselingkuhan atau zina bukan sekadar
pelanggaran legal-formal, melainkan sebuah kehancuran ontologis yang merusak
tatanan alam individu dan sosial. Filosofi Islam memandang manusia sebagai
entitas yang memikul amanah moral (taklif), di mana kesucian seksualitas
merupakan fondasi bangunan peradaban.
Pelanggaran
terhadap Maqashid al-Syari'ah (Tujuan Utama Hukum Islam): Tindakan ini secara
langsung merusak lima tujuan primer syariat: menjaga agama (hifzh al-din), jiwa
(hifzh al-nafs), akal (hifzh al-'aql), keturunan (hifzh al-nasl), dan harta
(hifzh al-mal). Khususnya, kerusakan pada hifzh al-nasl sangat nyata, karena
perselingkuhan mengacaukan silsilah keluarga, mengabaikan tanggung jawab
pengasuhan anak, dan merusak struktur hubungan kekeluargaan yang sah.
Erosi
Nilai Iman dan Akhlak: Dari perspektif akidah, tindakan ini mencerminkan
kelemahan iman dan hilangnya rasa malu (al-haya). Sebuah hadis yang
diriwayatkan Bukhari menyatakan, "Tidaklah berzina seorang pezina ketika
melakukannya dalam keadaan ia sebagai seorang mukmin". Pernyataan ini
mengindikasikan bahwa tindakan keji tersebut, pada saat dilakukan, sangat
bertentangan dengan esensi keimanan, meski tidak serta-merta mengeluarkan
pelaku dari Islam.
Konsekuensi
Sosial dan Spiritual: Filosofi Islam juga menekankan konsekuensi duniawi dan
ukhrawi. Dalam beberapa riwayat, dikatakan bahwa zina mendatangkan hilangnya
keberkahan hidup, kemiskinan, dan umur yang pendek. Ini adalah bentuk keadilan
ilahi yang terintegrasi, di mana kerusakan moral membawa dampak sistemik
terhadap kehidupan individu dan komunitas.
Analisis
Hukum Fikih: Klasifikasi, Bukti, dan Sanksi
Hukum
fikih mengatur perselingkuhan (zina) dengan sangat detail, membedakannya
berdasarkan status pelaku dan mekanisme pembuktiannya. Kerangka hukum ini
dirancang bukan untuk mempermudah penjatuhan hukuman, tetapi justru untuk
menjamin keadilan, mencegah salah tuduh, dan melindungi martabat manusia.
Klasifikasi
dan Sanksi
Hukum
fikih membedakan pelakuzina menjadi dua kategori utama dengan sanksi yang
berbeda:
Kategori
Pelaku Deskripsi Sanksi yang Ditetapkan
Bukan
Muhsan (Ghairu Muhsan) Orang yang belum menikah atau belum pernah melakukan
hubungan suami-istri dalam pernikahan yang sah. 100 kali cambuk dan pengasingan
(nafy) selama satu tahun.
Muhsan
Orang yang sudah menikah, berakal, merdeka, dan dewasa, serta telah melakukan
hubungan suami-istri dalam pernikahan yang sah. Hukuman rajam (dilempari batu)
sampai meninggal.
Perbedaan
sanksi ini menunjukkan prinsip proporsionalitas dalam hukum Islam, di mana
tanggung jawab dan konsekuensi lebih besar bagi mereka yang telah menikah
karena telah melanggar perjanjian suci pernikahan.
Mekanisme
Pembuktian yang Ketat
Hukum
Islam menetapkan standar pembuktian yang sangat tinggi untuk mencegah tuduhan
sembarangan dan menjaga privasi.Zina hanya dapat dibuktikan dengan salah satu
dari dua cara:
1.
Pengakuan Sendiri: Pelaku mengakuinya secara sukarela di hadapan hakim sebanyak
empat kali. Nabi Muhammad bahkan pernah berusaha memberi kesempatan pada pelaku
untuk menarik kembali pengakuannya.
2.
Kesaksian: Harus ada empat orang saksi pria yang adil ('adl) yang secara
langsung menyaksikan peristiwa tersebut dengan mata kepala sendiri. Kesaksian
perempuan tidak diterima dalam kasus ini untuk melindungi kehormatan mereka.
Tingginya
standar bukti ini mencerminkan prinsip preventif (sadd al-dzara'i) dan
penghormatan terhadap privasi. Jika tuduhan tidak dapat dibuktikan, pelapor
justru dapat dihukum karena menuduh (qadzaf) dengan 80 kali cambuk.
Refleksi
Kontemporer: Antara Hukum, Etika, dan Realitas Sosial
Dalam
konteks figur publik, kasus ini menimbulkan dilema antara hak privasi dan
tanggung jawab sosial. Meskipun hukum formal negara mungkin tidak menerapkan
sanksi hudud, pelanggaran etika dan moral yang dilakukan figur publik tetap
memiliki dampak luas.
Efek
Sosial dan Edukatif: Terungkapnya kasus perselingkuhan publik dapat menjadi
"pelajaran moral" (ibrah) bagi masyarakat. Proses hukum di pengadilan
agama, seperti yang terjadi dalam Putusan Pengadilan Agama Yogyakarta No.
0543/Pdt.G/2011/PA.Yk, lebih berfokus pada penyelesaian perkara perceraian dan
akibat-akibat hukumnya (seperti nafkah dan hak asuh anak) daripada menjatuhkan
sanksi pidana.
Filsafat Hukum: Antara Represif dan Restoratif: Sanksi-sanksi dalam Islam, meski terlihat keras, memiliki dimensi penyucian (tathir) bagi pelaku di dunia dan akhirat. Filosofi utamanya adalah mencegah kerusakan yang lebih besar (darar) di masyarakat dengan menegaskan betapa seriusnya pelanggaran ini. Di sisi lain, pintu taubat selalu terbuka. Allah berfirman dalam Al-Qur'an bahwa Dia akan mengubah kesalahan-kesalahan orang yang bertaubat menjadi kebaikan.
Analisis
filosofis-etis dan hukum fikih terhadap kasus perselingkuhan figur publik
mengungkapkan kompleksitas masalah yang tidak dapat disederhanakan sekadar
menjadi berita sensasional. Islam menawarkan sebuah kerangka komprehensif yang
melihat tindakan ini sebagai pelanggaran terhadap hak Allah (haqullah) dan hak
manusia (haqul adami), yang merusak fondasi peradaban itu sendiri. (Hdk/FM)
Kekakuan
sanksi hudud harus dipahami bersama dengan mekanisme pembuktiannya yang sangat
ketat dan semangat untuk melindungi kemaslahatan umum. Dalam konteks kekinian,
hikmah dari ajaran ini adalah membangun kesadaran kolektif akan integritas
moral, kejujuran dalam relasi, dan tanggung jawab sosial para pemimpin dan
publik figur. Akhirnya, refleksi ini mengajak semua pihak untuk tidak hanya
fokus pada hukuman, tetapi lebih pada upaya pencegahan melalui pendidikan
karakter dan penguatan institusi keluarga, sehingga kehormatan individu dan
harmoni sosial dapat terjaga.
